MENJEMPUT ASA
Matahari sudah lama memasuki keheningan malam, namun cahaya bulan tak tampak di sela-sela pepohonan. Di tengah kebisuan malam yang menyisakan embun di dedaunan, ada sepotong hati yang mengharu biru dalam asa yang takut tak tergapai. Sita membenamkan isaknya di bantal. Sebongkah asanya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi tampaknya jauh dari kenyataan. Gadis itu menyadari kondisi keuangan orang tuanya sangat tidak memungkinkan. Kuliah butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, untuk mendesak ayah dan ibunya Sita tak tega. Gadis itu hanya mampu menghapus derai air matanya. ”Dengan apakah akan kugapai asaku?”rintihnya. Sita tidak tahu harus bagaimana selain hanya menumpahkan kesedihannya. Bahunya terguncang-guncang menahan isak yang tertahan. Masa SMA-nya hanya tinggal hitungan hari. Akankah cita-citanya menjadi seorang pendidik hanya akan berakhir sebagai sebuah impian asa yang tak kan pernah terwujud? Pikiran gadis itu menerawang jauh menembus langit-langit kamar. Seekor cecak berekor buntung gesit mengejar seekor nyamuk untuk dimangsa. Dengan lincah pula nyamuk itu terbang ketika cecak menerkamnya. Kali keempat, cecak buntung berhasil menikmati makan malamnya. Sita menarik nafas, cemburu dengan keberuntungan cicak itu, lalu dia pun terlelap dalam mimpi masa depan yang masih dalam angan-angan.
***
Sejak Sita mau masuk SD, Bu Rahman sudah mengkhawatirkan masa depan anaknya itu. Gaji suaminya sebagai tenaga keamanan di supermarket tidaklah cukup untuk membayar uang masuk sekolah. Tetapi Pak Rahman berhasil mendapatkan uang itu, bahkan dengan bangganya pada suatu hari lelaki itu membawa pulang sebuah sepeda mini bekas yang ada keranjangnya di depan. Sita kecil melompat-lompat kegirangan. Gadis itu begitu bersemangat menyambut pagi pertamanya sekolah. Bu Rahman sangat bahagia. Wanita itu tidak pernah cerewet bertanya tentang dari mana uang itu dipinjam oleh suaminya. Namun, dia tak kuat untuk tidak lagi bertanya ketika untuk kedua kalinya suaminya pulang dengan membawa uang 2 juta rupiah! Lebih dari cukup untuk biaya masuk SMP!!
”Pak!!uang dari mana ini?” Bu Rahman setengah terkejut ketika membuka isi amplop kuning itu. ”Dengan apa kita cicil uang ini nantinya, Pak? Wanita itu membalik-balikkan uang di tangannya ragu. Dia sangat khawatir suaminya akan dililit utang dan terjebak rentenir.
”Sudahlah, Bu. Kita gunakan saja uang ini untuk mendaftarkan Sita ke SMP Tunas Bangsa itu. Selebihnya kita simpan buat keperluan sekolah Sita nantinya. Ibu jangan khawatir.” Pak Rahman mencoba menenangkan istrinya. Lelaki itu sangat maklum karena dia sadar betapa sulit istrinya mengatur keuangan keluarga dengan gajinya yang tidak seberapa itu.
Sita Kusuma Dewi, gadis kecil yang tidak lagi berseragam merah putih itu melangkah pasti memasuki gerbang SMP Tunas Bangsa dengan seragam biru putihnya. Dari kejauhan Pak Rahman tersenyum bahagia. Dikayuhnya sepeda bututnya menuju tempat kerja. Ada sebentang harapan di depannya. Lelaki ulet itu terus berusaha meretas jalan bagi buah hatinya agar bisa terus bersekolah. Pak Rahman sangat berharap Sita dapat menjemput asanya dan menggapai cita-citanya. Tanpa terasa, di sudut matanya yang cekung bergulir sebutir kristal harapan. Buru-buru dihapusnya bulir bening itu. Sebutir keringat jatuh menetes dari keningnya yang mulai berkerut dimakan usia. Tak henti dibisikkannya rasa syukur kepada Penguasa segala rencana bagi umatnya. Juga ketika dulu namanya dipanggil untuk mendampingi anaknya menerima penghargaan. Bukan main bahagia lelaki itu. Anak gadisnya baru saja menamatkan sekolah menengah pertamanya dengan nilai nyaris sempurna!! Orang tua manakah yang tidak merasa bangga? Berkali-kali Pak Rahman mengucap syukur pada Allah. Tetapi, di bawah pentas, di deretan bangku tempat duduk para wali murid, Bu Rahman mengusap air matanya sambil bergumam lirih”Ya...Allah...Kau sempurnakan prestasi anakku...tapi...dari mana lagi suamiku akan mendapatkan biaya buat melanjutkan sekolahnya ?” Bu Rahman kembali mengusap air mata yang semakin deras mengalir di sudut-sudut matanya. Di atas pentas dilihatnya Sita mengangkat tropi dan piagam penghargaan dengan kedua tangannya penuh bangga. Rasa bahagia juga terpancar jelas di wajah Pak Rahman. Lelaki itu merangkul bahu anaknya dengan bangga. Senyum tak henti menghias bibirnya yang pucat dan wajahnya yang legam karena tempaan kehidupan.
***
Tinggal beberapa hari lagi Sita akan menyelesaikan SMA-nya. Untuk kesekian kalinya Bu Rahman merasakan hal yang sama. Dalam hati dia berbisik, akankah masalah ini berhasil juga diatasi suaminya? Kemana lagi suaminya akan meminjam uang buat biaya kuliah anaknya? Bertahun-tahun ini, Bu Rahman tahu bahwa gaji yang diberikan suaminya sebenarnya sudah tidak utuh lagi karena sebagian ditabung buat ”Cicilan Sekolah Sita” Begitulah penjelasan suaminya setiap kali menyerahkan amplop gajinya. Bu Rahman berusaha mengatur biaya hidup mereka sekeluarga dengan sisa uang itu. Wanita itu tidak pernah protes karena dia percaya semua itu dilakukan suaminya demi masa depan anaknya. Tapi apakah tabungan sekecil itu cukup buat kuliah? ”Bukankah selama ini suamiku juga harus membayar cicilan utang yang dipinjam sewaktu Sita masuk SMA dulu?” Bu Rahman bertanya pada dirinya sendiri. Wanita yang kesehariannya berjualan gorengan di setiap sore itu ragu kalau kali ini suaminya akan berhasil lagi mengatasi masalah keuangan buat sekolah anak mereka. Namun keraguan itu berganti menjadi sebuah asa ketika ingatannya melayang di masa tiga tahun silam.
Masih segar dalam ingatannya ketika suaminya pulang dengan wajah sumringah penuh arti padanya. Di tangannya tergenggam sebuah amplop berisi uang. Suaminya kembali berhasil mendapatkan biaya yang dibutuhkan anaknya. Bu Rahman ikut tersenyum mengucap syukur walaupun hatinya berkata bahwa suaminya berutang lagi.
Pak Rahman dengan semangat mengajak Sita ke sebuah SMA dengan membawa STTB dan Nilai Ujian Nasional anaknya yang nyaris sempurna itu. Benar saja. Sita diterima tanpa tes. ”Terima kasih, Ya Allah.”Gadis itu memeluk ayahnya. Pak Rahman tersenyum bangga dan langsung membayar uang pakaian seragam anaknya. Karena prestasinya yang berhasil memperoleh nilai ujian nasional tertinggi di provinsinya, Sita pun mendapat anugrah dari pemerintah daerah. Bintang sekolah itu dibebaskan dari semua biaya pendidikan selama tiga tahun ke depan. Artinya, Pak Rahman tidak perlu susah memikirkan biaya sekolah anaknya sampai Sita menamatkan SMA-nya. Pak Rahman tak henti bersujud syukur atas kemurahan hati Allah kepada keluarganya. ”Terima kasih, ya Allah...Kau Maha pengasih dan Maha tahu atas segalanya.”
”Simpan aja uang ini, Bu. Tadinya uang ini untuk biaya sekolah Sita. Tapi semuanya sudah dilunasi oleh pemerintah. Syukurlah. Simpan aja buat jaga-jaga.” Pak Rahman menyerahkan sisa uang pembeli seragam sekolah Sita kepada istrinya sesampai di rumah. Bu Rahman menyimpan uang itu sebagai tabungan.
***
“Kapan pengumuman kelulusanmu?” Pak Rahman meneguk kopi hangat buatan istrinya sambil meminta Sita memijid-mijid bahunya yang pegal. Jam di dinding sudah menunjuk ke angka 22.00 lewat 15 menit. Lelaki itu baru saja pulang dari kerja lembur.
“Mungkin seminggu lagi, Yah” Sita menjawab sambil menatap wajah ayahnya sekilas lalu kembali mengoles bahu ayahnya dengan balsem. Lelaki itu yakin anaknya akan menjadi yang terbaik lagi kali ini. Prestasi anaknya tidak diragukan lagi. Setiap tahun ketika pembagian rapor, Sita selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya.
“Kamu belajar aja yang tekun agar bisa diterima di universitas negeri. Siapa tahu kalau nilai tesnya terbaik, kamu bisa bebas biaya kuliah. Seperti dulu, waktu masuk SMA.” Pak Rahman mengucek-ngucek rambut anaknya. Lelaki itu selalu menebarkan harapan dan menjadi motivator bagi anaknya.
“Bisa?” Pak Rahman meminta kepastian anaknya. Sita mengangguk pelan.
“Apa gunanya nilai bagus, Yah kalau tidak bisa kuliah?” Sita berucap lirih. Hampir tak terdengar. Pak Rahman merangkul anaknya yang mulai terisak. Lelaki tua itu meyakinkan anaknya bahwa akan ada jalan keluar bila sudah sampai masanya. ”Insya Allah,” bisiknya. ”Allah akan mendengar doa-doa kita. Sekarang, pergilah tidur. Sudah larut malam” lelaki tua itu bangkit dari duduknya.
Sita merebahkan tubuhnya di pembaringan. Pandangannya jauh menembus langit-langit kamar. Ada secercah harapan setiap kali dia menatap dua bola mata kuyu ayah tercintanya. Sita memejamkan matanya. Sebongkah asa masih bersemayam di hatinya. Gadis itu mengucapkan sepotong doa. ”Ya Allah, aku yakin ada berjuta-juta asa di tangan-Mu. Semoga satu di antaranya Kau berikan untukku. Amin.” Gadis itu terlelap dalam mimpi asanya.
***
Pak Rahman mengayuhkan sepeda tuanya mendaki jalan berbukit. Sepanjang perjalanan lelaki itu lebih banyak diam tetapi pikirannya menerawang. Tiga hari yang lalu Sita telah lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan. Hari ini adalah pengumuman penerimaan calon mahasiswa undangan yang diseleksi melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul Daerah (PBUD). Pak Rahman berharap Sita akan diterima melalui jalur tanpa tes tersebut. Lelaki itu yakin dengan kemampuan anaknya. Tetapi bagaimana kalau Sita tidak diterima? Sanggupkah Sita bersaing di jalur SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang persaingannya sangat ketat itu? Dia yakin sekali dana yang didapatnya nanti akan cukup bila Sita lulus di negeri. Tatapi akan jadi lain bila Sita tidak diterima di PTN. Butuh dana lebih. Pak Rahman menarik nafas panjang. Dikayuhnya pelan-pelan sepedanya. Jalan sudah agak menurun sehingga tidak begitu menguras tenaga tuanya untuk mengayuh. Tetapi lelaki tua itu tidak menyadari sebuah truk yang penuh dengan kayu balak bahan baku pembuat kertas, meluncur dengan kecepatan tinggi dan membunyikan klaksonnya tepat 10 meter di belakangnya. Pak Rahman kaget dan tidak sanggup menjaga keseimbangannya. Lelaki renta itu terpental dari sadel sepedanya dan jatuh ke badan jalan tepat ketika mobil truk itu melintas. Tubuh Pak Rahman terseret di bawah truk besar itu sejauh tiga puluh meter. Darah segar berceceran di sepanjang jalan. Orang-orang yang menyaksikan kejadian tragis itu menjerit histeris dan berlari mengejar lelaki malang itu. Pak Rahman tergeletak tak berdaya bersimbah darah. Di langit, awan gelap menggumpal.
Di rumahnya, Bu Rahman baru saja memecahkan sebuah gelas berisi kopi hangat untuk menyambut kedatangan suaminya. Wanita itu tertegun sejenak. Terlintas sebuah pikiran buruk tetapi cepat-cepat dialihkannya.
”Apakah Sita tidak diterima?” Sambil membersihkan pecahan gelas, wanita pengasih itu menerka-nerka pertanda pecahnya gelas kopi suaminya itu. ”Aduh...!!” Bu Rahman menjerit kecil. Pecahan gelas itu tak sengaja melukai jarinya. Berdarah. Buru-buru Bu Rahman menutup lukanya dengan ujung bajunya. Ada perasaan tidak tenang di hatinya.
Langit di luar kelihatan mendung dan menggelap. Pelan-pelan rintik hujan mulai turun membasahi bumi yang bersimbah darah. Darah seorang ayah yang tak pernah lelah bermimpi tentang masa depan buah hatinya. Bu Rahman memandang ke jalan berharap suaminya cepat pulang karena hujan semakin lebat dan guntur mulai bersahut-sahutan. Wanita itu sama sekali tidak menyangka bahwa suaminya tidak akan pernah lagi mencguk hangatnya kopi buatannya.
***
Isak tangis masih terdengar dari dalam rumah. Para tetangga sudah banyak yang berkumpul. Beberapa orang mendirikan tenda dan mengatur kursi untuk para pelayat. Jenazah Pak Rahman baru saja sampai di rumah duka diantar oleh pihak rumah sakit dengan sebuah ambulan. Bu Rahman belum sadarkan diri tak kuat menerima kenyataan pahit ini. Suasana bertambah pilu ketika Sita datang diantar teman-teman sekolahnya. Jerit pilu Sita yang memeluk jasad kaku ayahnya menambah kesedihan semua pelayat yang hadir.
”Ayah....mengapa secepat ini ayah pergi...jangan tinggalkan Sita, Yahhhhh......” gadis itu mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi. Di tangannya tergenggam sebuah surat yang sudah basah dengan air matanya. Sita baru saja menerima surat pemberitahuan bahwa dia terpilih sebagai mahasiswa PBUD. Dia lulus di PTN tanpa harus bersaing dengan beribu-ribu calon mahasiswa se-Indonesia. Sita meremas kertas itu. Tidak ada lagi kebanggaan yang akan dipersembahkannya untuk sang Ayah, sang motivatornya selama ini. Putus sudah harapannya untuk kuliah dan menjadi guru. Sang penyelamat itu telah tiada... ”Ayahhhhh........” Sita pingsan dan terkulai lemas.. Semangatnya patah berkeping-keping. Gadis itu telah kehilangan motivatornya.
***
Seminggu berlalu.....
Pak Kadir, adik kandung Pak Rahman datang menemui Bu Rahman dan Sita dengan seorang lelaki berdasi.
”Mbak. Perkenalkan, ini Pak Joko Wahyudi.” Pak Kadir memperkenalkan temannya. Lelaki berdasi itu tersenyum ramah.
”Perkenalkan, Bu. Saya perwakilan dari PT Asuransi Beasiswa Harapan ingin menyampaikan rasa turut berduka cita, Bu.” Lelaki berdasi itu menyalami Bu Rahman.
”Oh, terima kasih. Mari silahkan masuk.” Bu Rahman menyalami tamu itu.
”Selain itu kami ingin menyerahkan uang pertanggungan dan uang santunan atas meninggalnya Pak Rahman, Bu.” Lelaki itu menjelaskan maksud kedatangannya setelah dipersilakan duduk oleh Bu Rahman pada siang itu.
”Uang pertanggungan? Uang santunan?”Wanita yang matanya masih sembab itu tak mengerti. Bu Rahman dan Sita saling berpandangan. Semasa hidupnya Pak Rahman tidak pernah bercerita tentang ini. Lelaki berdasi itu dan Pak Kadir menyadari ketidakpahaman kedua anak beranak itu.
”Begini, bu. Semasa hidupnya, Pak Rahman telah mengasuransikan jiwanya. Pak Rahman adalah pemilik polis Asuransi Beasiswa Harapan yang dibuat untuk anaknya Sita Kusuma Dewi sejak anak ibu ini berusia dua tahun”. Lelaki itu mengeluarkan sebuah map berwarna biru dan menyerahkannya kepada Bu Rahman.
”Polis itu selama ini dititipkan Pak Rahman kepada adiknya, Pak Kadir.” Pak Kadir mengangguk membenarkan.
”Benar, Mbak. Rencananya Mas Rahman mau membuat kejutan sama mbak dan Sita setelah menerima uang pertanggungan ini. Bulan depan masa asuransinya telah berakhir, Mbak. Tapi sayangnya beliau keburu pergi..” Pak kadir memberi penjelasan.
” Beliau membayar secara triwulan sebanyak Rp 227 ribu. Asuransi beasiswa ini ada tahapannya juga, Bu. Sewaktu anak ibu masuk SD dulu, Pak Rahman telah menerima tahapannya sebanyak Rp 1 juta. Ketika anak ibu masuk SMP, Pak Rahman juga sudah menerima tahapan kedua sebanyak Rp 2 juta”. Petugas itu sangat profesional memberi penjelasan tentang asuransi tersebut. ”Dan tiga tahun yang lalu, Pak Rahman juga sudah menerima tahapan ketiga sebanyak Rp 3 juta untuk biaya masuk SMA anak ibu ini.” Lelaki berpakaian rapi itu tersenyum memandang Sita. Bu Rahman mengangguk-anggukkan kepalanya mulai memahami arah pembicaraan. Semuanya jadi semakin jelas dan terbuka lebar. Ternyata dari sinilah sumber keuangan suaminya setiap mau mendaftarkan sekolah anaknya. Tanpa terasa air mata menetes deras di pipi wanita setengah baya itu. Sungguh tak disangka bahwa suaminya telah merencanakan biaya pendidikan Sita sejak lama. Inikah yang disebutnya dengan ”Cicilan Sekolah Sita?”Begitu cermat suaminya menyimpan rahasia ini. Bu Rahman menyeka air matanya dengan sudut lengan bajunya.”Terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Pak” ucapnya hampir tak terdengar.
”Ini saya serahkan uang pertanggungan ditambah dengan uang santunan karena Pak Rahman meninggal dunia sebelum masa asuransinya berakhir.” Lelaki itu menyerahkan setumpuk uang yang kalau dijumlahkan lebih dari Rp 20 juta. Sebuah jumlah yang dirasa cukup untuk biaya kuliah anaknya. Bu Rahman bergetar melihat tumpukan uang itu. Wanita itu tak sanggup berkata-kata. Air matanya mengalir deras teringat mendiang suaminya. Sungguh dia sama sekali tidak pernah bermimpi melihat uang sebanyak ini tepat di saat anaknya sangat membutuhkannya. Dipandangnya Sita yang sejak tadi berdiri mematung. Jantung gadis itu seakan berhenti berdetak. Air mata bersimbah di kedua pipinya. Sita teringat sang ayah. Sita berlari ke luar rumah menuju pusara ayahnya yang masih basah. Gadis itu bersimpuh di gundukan tanah merah itu. ”Ayahhh...” Sita menangis. Bu Rahman mengejar anaknya dan memeluknya dalam tangis. Air mata kebahagian dan keharuan menetes membasahi nisan Pak Rahman. Jauh di alam sana, sang ayah tersenyum penuh kebahagiaan melihat dua wanita yang sangat dikasihinya itu.
”Terima kasih, Ayah...terima kasih.” Sita membenamkan tangisnya di pangkuan sang ibu. Ibu dan anak itu menangis berpelukan dalam suasana yang sangat mengharukan siapun yang ada di tempat itu. Pak Kadir dan petugas asuransi yang ikut menyusul ke komplek pemakaman ikut terharu. Kedua lelaki itu pun larut dalam kesedihan. Kristal-kristal bening mengambang di pelupuk matanya.
Sita sudah menemukan dengan apa dia akan menggapai asanya. Polis Asuransi Beasiswa Harapan itu telah menjadi biduk penyelamat yang dikirimkan oleh ayahnya. Layar itu pun telah terkembang, dan Sita siap mengarungi samudra asa masa depannya menjadi seorang guru.
”Terima kasih, Ayah..akan kubuktikan padamu dan tidak akan kusia-siakan pengorbananmu...iringi langkahku untuk menggapai asa dan citaku..” Senyum penuh harapan tersungging di bibirnya. Jauh di atas sana awan putih mulai berarak menghapus kabut hitam yang menyelimuti mentari.(by. sittisy)
**selesai**
Komentar
Posting Komentar