TOPI HITAM BERTALI MERAH


Bolak-balik kuperhatikan Fetty mematut-matut diri di depan cermin setengah badan itu. Sesekali terdengar dengus kesal dari mulutnya. Sesekali terdengar sumpah serapahnya. Gadis gempal itu menghentak-hentakkan kakinya ke lantai melampiaskan rasa kesal terhadap baju kebaya putih yang baru diambilnya dari tukang jahit.
”Dara, ternyata kebaya ini kekecilan. Bagaimana ini?” Fetty terlihat kesal dan gelisah.
”Ya sudah, antar lagi ke tukang jahitnya! Kan masih seminggu lagi,” kataku mencoba mencari jalan keluar.
”Tapi, kainnya bisa rusak kalau harus didedel.” Fetty merajuk.
”Terus bagaimana?”aku memegang kebaya borkat berbunga-bunga itu.
”Apa aku harus beli kain lagi?menjahitkannya lagi?apa sempat? Huuuuhhh!!” Fetty tambah kesal.
”Ahhhh mubazir kalau harus menjahit lagi!” tukasku.
”Mubazir bagaimana? Ini kan sekali seumur hidup kita? Kita harus pakai yang terbaik, dong! Apa kata dunia!!” sahutnya sengit. Fetty melempar kebaya borkat mahal itu ke sudut kamar. Gadis itu menyumpau-nyumpah lagi.
”Kau sendiri, mana kebayamu?” tanya Fetty tiba-tiba. Aku sudah menduga, si gempal karibku ini pasti akan bertanya juga karena memang aku tidak pernah mempersiapkan kebaya khusus untuk wisuda sarjana yang sudah lama kutunggu-tunggu ini. Tidak penting, pikirku. Yang penting adalah topi hitam bertali merah ini. Ini pesanan khusus dari Abah. Abah sangat ingin melihat aku memakai topi hitam ini. Abah ingin sekali memajang foto sarjanaku di ruang tamu rumah kami. Sebuah kebanggaan yang tiada taranya ketika sebuah rumah di kampung emajang foto sarjana anaknya, apalagi anak perempuan. Seminggu yang lalu Abah sempat bertanya apakah aku sudah menyewa topi hitam bertali merah itu.

“Jangan lupa topi hitam bertali merah itu, Dara. Abah ingin kau difoto pakai topi hitam yang ada tali merah itu dan pakai jubah hitam juga ya,” begitulah pesan Abah.. Kuelus-elus toga sarjana itu.Kucium sepenuh hati. Terbayang senyum bangga dan bahagia Abah menyaksikanku dengan jubah dan topi hitam bertali merah berjalan menghampiri panggung kebesaran. Aku berdiri tepat di depan pak Rektor! Aku merundukkan kepalaku. Pak Rektor pun memegang tali merah itu dan menggesernya ke kanan. Pak Rektor menyalamiku, Pak dekan menyerahkan ijazah sarjana itu padaku...Oh...senyum mengambang dibibirku...oh...Abah...anakmu sudah sah jadi sarjana...
”Hei!! Dengar tak?mana baju kebayamu? Sudah kau jahit? Sudah pas ukurannya? Tidak kesempitan?tidak kedodoran?toga itu juga yang klau urus!”Fetty menghancurkan lamunan bahagiaku. Sialan!umpatku dalam hati.
”Sudah, ah!”Fetty tak bertanya lagi. Kulihat dia memungut kebaya yang sudah dicampakkannya tadi dan memasukkannya ke dalam kantung plastik. Tampaknya dia bersiap-siap kembali ke tukang jahit. Mudah-mudahan baju itu dapat diperbaiki, pikirku membatin. Kasihan juga sahabatku itu.
Aku memang tidak perlu mempersiapkan baju kebaya putih seperti yang dilakukan Fetty dan teman-teman calon wisudawati yang lain. Baju putih buat ujian semester selama ini bagiku sudah cukup. Bukankah nantinya baju itu tertutup jubah hitam ala Pak Hakim Agung itu? Percuma juga membeli dan menjahit mahal-mahal tetapi tidak kelihatan. Apalagi untuk sebuah kebaya tidak cukup dengan uang Rp 50 000. Uang bagiku sangat berharga. Uang adalah peluh Abah. Peluh Abah tidak harus disia-siakan untuk sebuah kebaya yang hanya dipakai sekali saja. Empat tahun aku kuliah belum sekali pun aku pulang kampung. Aku harus tau diri. Aku harus berhemat. Tidak gampang bagi Abah menyisihkan sebagian gajinya untuk biaya kuliahku selama empat tahun ini. Aku yakin betul, pastilah Abah mengutang sana-sini, gali lubang tutup lubang untuk biaya hidup keluarga asalkan uang untukku terselamatkan.  Sudah dua tahun ini Abah mencari tambahan dengan mengajar ngaji di mushola dekat rumah kami pada malam hari dan subuh selepas sholat, Abah selalu membantu Emak menggoreng keripik ubi untuk dibuat kripik pedas. Aku tidak menyia-nyiakan uang yang didapat dengan susah dan tetes peluh Abah dan Emak. Aku harus tahu diri. Aku harus bersyukur karena dapat mengecap bangku kuliah padahal sejak mula Abah dan Emak sudah keberatan dan khawatir tidak sanggup membiayayiku sampai sarjana. Aku menahan untuk tidak pulang kampung ketika teman-teman selalu pulang setiap libur semester atau lebaran. Ongkos transportasi ke pulau Singkep tidak sedikit. Naik kapal saja sama nilainya dengan uang SPP satu semester apalagi kalau naik pesawat. Itulah sebabnya aku lebih memilih tidak pulang ketika libur semester daripada harus putus kuliah. Abah dan Emak memaklumi alasanku dan mereka sudah cukup puas mendengar suaraku di telepon. Mereka sangat berharap aku bisa berfoto dengan jubah hitam dan beropi hitam dengan tali merah di sisinya itu.
Liburan semester kugunakan untuk mencari uang dengan menjual boneka dari benang wol. Keahlianku merajut sejak SMA membangkitkan kreativitasku dalam menciptakan boneka-boneka kecil yang bernilai jual. Benar saja. Anak-anak sekolah, SD, SMP, bahkan SMA sangat menyukai hasil karyaku ini. Mereka menggantungkan boneka mungil itu pada tas sekolah mereka. Ada rasa bangga ketika melihat hasil karya ku itu tergantung indah di tas-tas sekolah  mereka. Hasilnya lumayan juga. Sebenarnya cukup untuk membeli bahan kebaya dan menjahitnya tapi aku lebih memilih membayar sewa kamar kos.
Sejak semester ketujuh, kuliahku tidak penuh selama seminggu. Kesempatan ini kugunakan untuk membantu para mahasiswa dalam menyelesaikan makalah atau skripsinya. Kebiasaanku yang suka menulis membuat mereka selalu meminta pertolonganku, dan mereka selalu memberiku upah walau tidak kuminta. Lumayan juga buat bayar katering sebulan.
Satu hal yang harus kupersiapkan buat acara wisuda besok itu adalah kamera foto karena dua hari yang lalu Abah menelpon, kembali mengingatkan agar aku tidak melupakan benda keramat itu.
”Teman-teman Abah di kantor perlu bukti. Mereka tak percaya kalau kau dah jadi sarjana. Mereka tak yakin cerita Abah.” suara Abah terdengar serak. Sesekali terdengar batuknya padahal Abah tidak merokok.
”Ya, Abah. Akan Dara cari kamera itu. Abah jangan khawatir” yakinku padanya.
”Nanti kita berdua berfoto di depan kampusmu itu ya...bersama kepala kampusmu,”kata Abah bersemangat. Yang dimaksudnya adalah Pak Rektor. Mudah-mudahan Pak Rektor tidak keberatan berfoto dengan kami nantinya. Aku yakin harapan Abah akan terwujud karena kesempatan itu akan ada. Aku sudah dapat bocoran dari Pak Amir, ketua jurusan program studi Bahasa Indonesia kemarin. Aku adalah mahasiswa FKIP yang terbaik angkatan ke-7 ini jadi pastilah punya kesempatan berfoto bersama orang tua dan para petinggi kampus itu. Sengaja kabar gembira ini tidak kusampaikan pada Abah. Akan menjadi kejutan terindah pada hari-H nanti yang akan kupersembahkan padanya. Aku yakin Abah akan tersenyum puas melihat Pak Rektor memindahkan tali toga itu dan menyalamiku. Abah pasti bangga ketika protokol menyebut namaku sebagai mahasiswa terbaik dan lulus dengan nilai Cum Laude!
Ah, Abah. Anak gadismu kini sudah jadi sarjana. Sebentar lagi akan pulang kampung menjadi guru dan mengajar  anak kampung kita supaya pintar dan punya masa depan. Anakmu ini akan membuktikan bahwa anggapan orang kampung kalau anak perempuan itu tak perlu sekolah tinggi akan terpatahkan. Kisah luka Rahmi yang tidak sempat jadi sarjana karena hamil di luar nikah akan kucoba menghapusnya dari memori orang kampung. Akan kubuktikan bahwa itu hanya sebuah kecelakaan dan tidak semua anak perempuan akan mengalami nasib seperti . Rahmi, anak perempuan Pak Ustad Karim yang dulu dikenal santun itu tiba-tiba saja menjadi gosip hangat di kampungku. Rahmi pulang dalam keadaan hamil enam bulan. Celakannya, lelaki yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab dan lari entah kemana. Jadilah Rahmi bahan gunjingan yang membuat merah muka orang tuanya. Jadilah Rahmi sebagai contoh nyata bagi anak-anak perempuan kampung. Jadilah Rahmi sebagai alasan para orang tua untuk tidak membenarkan anak perempuannya merantau jauh dari mereka. Jadilah Rahmi sebagai penegas pemeo usang bahwa ”Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akhirnya ke dapur juga!”Para orang tua lebih suka anaknya bekerja walau dengan gaji tak seberapa asalkan hati mereka tidak was-was, khawatir anaknya bernasib seeperti Rahmi. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, kami harus menyeberang laut dan merantau karena di kampungku tidak ada perguruan tinggi. Kisah tragis yang dialami Rahmi merupakan alasan kuat Abah dan Emak melarangku melanjutkan pendidikan ke pekanbaru, di samping faktor biaya tentunya. Cukup lama aku berdebat dengan Abah sampai pada akhirnya aku bersumpah untuk menyelesaikan kuliahku  lebih cepat dari teman-teman seangkatanku. Aku berjanji tidak akan pulang sebelum jadi sarjana, sebelum ijazah guru kubawa pulang. Dan aku berhasil membuktikannya. Aku berhasil menjadi sarjana pendidikan. Ijazah itu sebentar lagi ada di genggamanku!  Aku tidak sabar menunggu hari wisuda sarjana itu tiba dan segera pulang ke kampung. Aku akan bersihkan wajah-wajah orang kampung itu dengan toga sarjanaku. Aku akan buktikan pada mereka bahwa peluh yang diteteskan Abah selama empat tahun ini tidak akan sia-sia. Anak perempuannya sudah jadi sarjana pendidikan. Abah akan bisa mebuktikan pada teman-teman kantornya bahwa langkahnya tidak salah membiarkan anak perempuannya merantau menuntut ilmu empat tahun yang lalu.
Sebentar lagi aku akan kembali ke kampung untuk membuka mata mereka agar mau menyekolahkan anak perempuannya sampai ke perguruan tinggi. Tadi siang Abah menelepon bahwa Beliau akan berangkat dengan kapal laut pada tanggal 06 februari,. Artinya 2 hari lagi Abah sudah di Pekanbaru karena Beliau menumpang kapal kayu ke Jambi, kemudian dari Jambi Abah akan naik bus ke Pekanbaru. Aku menanti tak sabar.
***
            Jam di dinding kamar kosku sudah menunjuk ke angka 9.25 menit tetapi aku masih malas bangkit dari dipan. Malas sekali rasanya. Pikiranku melayang pada Abah yang sekarang sedang dalam perjalanan. Sudah sampaikah Abah ke Jambi? Aku mencoba menghitung-hitung jam. Jarak antara Dabo Singkep ke jambi membutuhkan satu hari  satu malam. Artinya, Abah seharusnya sudah sampai ke jambi dan mungkin sedang dalam perjalanan menuju pekanbaru dengan menggunakan bus antarkota. Menurut perkiraanku, Abah akan sampai besoik pagi sekitar pikul tujuh pagi.
            Aku bangkit dan akan segera mandi ketika handphone guru berdering. Rupanya dari adikku.
“Kak..segera pulang..sekarang aja. Cari pesawat. Emak sakit” Aku mendengar suara serak Yono di seberang sana. Detak jantungku tidak beraturan lagi. Debarnya bertambah kencang.
“Emak? Kenapa dengan Emak?Abah belum sampai ke Pekanbaru..macam mana ini?Emak sakit apa?” Aku panik bertanya.
“Sudahlah, kak. Pokoknya kakak harus pulang hari ini juga. Emak sakit. Emak ingin kakak pulang segera.Sudah ya...pakai saja uang buat ijazah yang dikirim abah minggu lalu untuk beli tiket.” Yono menutup telepon sambil terisak. Aku terduduk lemas, menangis sejadi-jadinya. Otakku tak bisa berfikir. Bagaimana aku mesti pulang sementara Abah belum sampai. Bagaimana Abah nantinya?Kucoba menghubungi nomor hand phone abah tetapi tidak aktif. Akhirnya kuputuskan untuk segera ke agen tiket pesawat terdekat untuk memesan tiket, berharap masih ada pesawat yang akan berangkat hari ini. Alhamdulillah, pesawat berangkat pukul 12.30. aku masih punya waktu satu jam untuk ke bandara. Segera kucari taksi untuk mengantarku ke Bandara Sultan Syarif Qasim II. Tak henti aku berdoa semoga Emak tidak apa-apa. Emak memang menderita asma akut. Penyakit turunan yang diturunkan oleh kakekku. Penyakit yang selalu berurusan dengan nafas ini memang sangat mengkhawatirkan. Aku selalu tidak tega bila melihat Emak sedang kambuh asmanya. Susah sekali bernafas. Sesak dan terengah-engah. Aku bersyukur tidak menerima turunan penyakit itu. Tapi, mengapa Abah jadi berangka ya, kalau Emak sedang tidak sehat/aku berfikir sendiri. Kulihat supir taksi memperhatikanku.mungkin dia heran mengapa sekali-sekali aku menarik nafas.
“Mau kemana, Dek?” Pak Supir mengajakku bicara ketika lampu merah menyala.
“Pulangkampung, pak. Ke Dabo Singkep”jawabku sambil memandangnya lewat kaca sepion. Seorabng penajaja koran menawarkan dagangannya. Aku menyerahkan uang Rp 3000 dan mengambil sebuah harian.
Lampu hijau telah menyala dan pak sopir kembali menjalankan taksi dengan tenang. Tatapi, hatiku tidak tenang. Dadaku bergemuruh. Mataku tidak berkedip memandang tulisan besar-besar di halam depan koran di pangkuanku. “Kapal Purnama Raya tenggelam di Selat Berhala dari Dabo Singkep menuju Jambi sekitar pikul 11 pagi.”  Kubaca cepat-cepat berita surat kabar itu, dikatakan bahwa ada beberapa orang saja yang selamat tapi belum diketahui nama-namanya. Aku terhennyak. Mungkinkah Abah menunpang klapal itu? Setahuku kapal dari Dabo ke jambi Cuma satu-satunya. Ya Tuhan...aku seperti menangkap pesan tersirat atas berita via hand phone dari adikku pagi tadi. Reflek tangaku menekan nomor adiiku dan segera menghubunginya.
“hallo....Yon?...hallo....” hand phone Yono tidak diangkat. Kepalaku pusing.
Di bandara kulihat orang-orang berkerumun membicarakan musibah kapal laut yang tenggelam itu. Aku mencoba menghubungi nomor Pak Cik Saleh, adik Abahku.
“ya..ini..Pak Cik..Sabar ya, nak...kau bulanglah cepat. Udah dapat tiket?”cik Saleh menenangkanku.
“pak, Cik…ada apa sebenarnarnya…Emak yang sakit….atau Abah…..?” Aku tidak sanggup meneruskan kata-kataku. Aku rebah. Kepalaku tiba-tiba peninng, berat seperti tertimpa batu besar.
“sabar, ya nak…kita hanya bisa berencana…tapi semuanya Allahlah yang berkehendak…”Pak cik menjawab tanyaku tersendat-sendat. Aku lunglai terduduk di lantai ruang tunggu. Pikiranku menduga-duga, mengira-ngira…menebak-nebak.. Aku tidak berharap apa yang kupikirkan menjadi kenyataan. TIDAK!! Abah harus sampai ke Pekanbaru. Abah harus menyaksikan wisuda sarjanaku!! Aku menangis. Meraung histeris. Tak peduli dengan tatapan berpuluh pasang mata melihatku. Mataku berkunang-kunang. Semua orang seperti berputar-putar mengelilingiku.mereka menatapku dengan tatapan kosong..tapi di antar orang-orang itu aku melihat Abah berusaha keluar dari kerumunan dan melambai-lambaikan tangannya padaku..aku berusaha bangkit dan tegak berdiri. Tatapi kakiku seakan lumpuh tak bergerak. Aku hanya mampu menantapnya dari ekejauhan. Aku mau berteriak memanggil namanya. Tapi suarraku tidak keluare. Tercekat di kerongkongan. Kulihat abah masih saja menyeeruak dari keramaian berusaha menghampiriku…di tangannya…oh….di tangannya. Jem,ari tuanya erat memegang sebuah topi…topi hitam dengan tali merah berjuntai-juntai….abah terus berjalan menghampiriku tatapi mengapa tidak bisa mendekat? Bahkan semakin jauh….mengapa semakin menjauh?…..aku berteriak memanggilnya tetapi  Abah semakin jauh. Topi hitam bertali merah itu masih di tangannya....

Komentar

Postingan Populer