YANG TERJAWAB

Aku seperti pernah merasa ada di tempat ini, tapi aku tidak bisa mengingatnya. Tiba-tiba sesuatu melintas di belakangku. Aku menoleh ke belakang, tidak ada apa-apa…hanya ada hutan yang gelap gulita. Aku berjalan lagi. Kulihat ada satu titik cahaya di kejauhan..samar..aku langsung berlari mendatangi sumber cahaya itu. Aku berlari dan terus berlari, cahaya itu semakin lama semakin nyata. Tiba-tiba aku terjungkal, jatuh tersungkur. Sesuatu telah menghalangi langkahku. Kegelapan telah membutakan mataku. Kegulitaan telah menghalangiku dan menjadi tegah bagiku untuk segera tiba pada sumber cahaya itu. Kupegang kudua lututku. Berdarah. Tiba-tiba ada yang memegang bahuku. Aku terkejut dan menjerit “Acchhhhh” rasa takut menghantui pikiranku.. Sosok itu berjongkok, menyentuh lututku yang terluka. Kain jubahnya yang putih panjang berkibar-kibar di tiup angin dalam kegelapan malam. “Minta maaflah padanya. Engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau telah menzalimi mahluk Allah!” Aku mendengar suara itu jelas sekali di telingaku. Aku tidak tahu dari mana asalnya. Dan aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. “Minta maaflah padanya. Engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau telah menzalimi mahluk Allah.” Suara itu terdengar lagi. Lebih jelas. Tapi dari manakah sumbernya? Sosok tak jelas itu mengusap lembut lututku yang terluka dan membersihkannya dengan ujung jubahnya sambil tetap menatapku tanpa kedip. Aku mulai terbiasa dan ketakutanku menguap entah kemana. Namun mendadak kepalaku tiba-tiba berdenyut-denyut dan terasa berputar-putar. Aku ingin berlari..pergi meninggalkan sosok berjubah itu tapi kedua lututku seakan lunglai tak berdaya untuk berdiri. Tubuhku terasa berat..dan pelan-pelan semua menjadi lebih gelap dari kegelapan yang menyelimutiku malam itu.


***
Pagi ini aku terbangun dengan nafas tersengal dan badan yang terasa pegal dan ngilu. Kuamati sekelilingku. Aku dimana? Ternyata masih di kamarku. Lalu siapa mahluk berjubah itu? Aku tidak menemukan jawaban dari pertanyaan yang datang dari batinku. Rupanya aku bermimpi. Mimpi yang aneh.
“Hei, Dika. Bangun!! Sudah siang. Apa kamu tidak sekolah? Mama menepuk-nepuk pipiku. Itu kebiasaan mama bila membangunkanku. Mama adalah wanita paling istimewa dan paling sempurna di mataku. Terkadang aku merasa bersalah bila sudah membohongi mama. Mama tidak pernah tahu kalau aku sering bolos sekolah dan hanya bermain-main di luar sana. Mama tidak pernah tahu kalau ternyata aku tidak pernah ikut les matematika, akuntansi dan bahasa Inggris, walau setiap bulan uang untuk membayar tiga orang guru les itu diberikannya kepadaku tanpa bertanya. Mama benar-benar menaruh kepercayaan penuh padaku. Ah...aku berdosa kepada mama. Maafkan anakmu ini, mama. Tapi semua sudah terlanjur dan terbiasa. Sulit aku menghentikannya. Bahkan, teman-teman sekelas sudah hafal dengan kebiasaan burukku walaupun hal ini tidak sampai ke telinga guru-guru.
***
            ”Dik...anak baru itu dapat pujian lagi...”Baru saja aku menjejakkan pantatku ke bangku, tiba-tiba Azrul menyampaikan laporannya. Aku menatap matanya sambil mengerutkan kening.
”Pujian apa?”tanyaku singkat. ”Dia menyelesaikan semua PR dan betul semua. Awak macam mana, dah siap PR-nya?” Anak batak itu menggamit sikuku.
            ”Heh!!sini bukumu!” Aku menjangkau dan merampas buku PR akutansi Atan, anak baru yang telah menyita perhatian guru-guru itu. Dia diam saja ketika kurampas bukunya. Selalu begitu. Anak Melayu dari kampung itu tidak pernah bereaksi bila aku bertindak tidak semestinya padanya padahal teman-teman yang lain seperti mau keluar biji matanya melototku. Benci. Apa peduliku?
”Tan, kau jangan diam aja!ambek buku kau itu. Jangan enaknya aja dia. Dia pikir dia siapa. Maen rampas aja!” Dina dengan aksen melayunya yang kental mempelototi  Atan. Emosi melihat sikap kasarku. Atan hanya tersenyum menanggapi komentar Dina. Aku tidak peduli.Aku segera menyalin semua jawaban yang ada tanpa peduli dengan beberapa pasang mata yang menatap tidak senang. Ingin protes tetapi tidak berani. Azrul tertawa cekikikan. Temanku yang satu ini memang selalu memberi laporan tentang perkembangan anak kampung itu. Sejak menginjakkan kaki ke sekolahku ini, ada-ada saja prestasi yang diraihnya. Dalam enam bulan ini sudah empat kali kemenangan yang dia peroleh. Yang pertama, dia berhasil menjadi juara pertama lomba karya ilmiah remaja. Pada bulan yang sama, lima buah puisinya dimuat di majalah Sagang dan tentu saja menjadi kebanggaan guru Bahasa Indonesia kami. Bulan April lalu, nama Muhammad Atan Saputra kembali diumumkan ketika upacara bendera Senin pagi. Anak Melayu itu kembali meraih sukses menjadi pemenang kedua lomba baca puisi antar-SMA sekaligus mendapat anugrah penulis kreatif. Saat ini semua penghuni sekolah sedang menunggu-nunggu pengumuman apakah sekolahku ini berhasil mengirimkan wakilnya, Muhammad Atan Saputra untuk menjadi salah seorang anggota pasukan pengibar Sang Saka Merah Putih di istana negara pada tanggal 17 Agustus nanti. Huh!! Aku muak sekali. Mengapa dia datang menbawa sejuta prestasi? Sialnya lagi dia tidak pernah melawan padaku. Benar-benar bikin kesal. Kekesalan itu kulampiaskan padanya beberapa hari yang lalu. Pulang sekolah kuserempet dia. Tapi tidak sampai parah. Cuma nyenggol. Dia terpelanting ke kanan membentur tiang listrik. Kulihat kepalanya kejedot. Aku dan Azrul meneriakinya.
”Mampus lo...makanya jangan berlagu kalau mau sekolah di sini..” Aku dan Azrul tertawa-tawa sambil mengencangkan bunyi gas motor sehingga meninggalkan kepulan asap yang memerahkan biji mata siapapun yang ada di dekat situ. Besoknya kulihat kening anak melayu itu benjol dan diperban. Ada noda obat merah atau sejenis betadin di atasnya. Dia menatapku seolah ingin berbicara, tetapi dia diam saja dan dengan langkah gontai menuju bangkunya.
***
Langit di atas sekolahku kelihatan mendung. Namun, tampak sedikit awan berarak pelan menutupi mendung di langit yang nyaris kehilangan birunya. Beberapa siswa berpakaian setengah basah berlarian ke tempat parkir ketika rintik gerimis mulai hadir di antara guntur yang bersahutan pelan  menyerupai nyanyian kodok di tengah hujan.
”Cepat, Rul. Nanti tambah lebat. Kita pulang sekarang aja. Gerimis renyai seperti ini gak bisa ditunggu.”ajakku sambil mengeluarkan kunci kontak dan memberikannya kepada Azrul. Azrul seperti kegirangan menyadari dia yang akan mengendarai motor. Tak didengarkannya  peringatanku untuk berhati-hati karena jalan sangat licin. Azrul benar-benar menikmati perjalanannya di atas motorku ini. Azrul memang lihai menyalib dan mendahului mobil atau motor di jalanan. Dia sangat atraktif sampai aku menjerit-jerit ketakutan.
”Tenang aja, Bro..” teriaknya di antara suara gemuruh knalpot yang memekakkan telinga bagi yang mendengarkan. Sebuah bus yang sarat muatan kayu balak membunyikan klakson tanda meminta kami mengalah dan segera mendahulu kami. Bukan Azrul namanya kalau mau menerima begitu saja. Dengan  lincah Azrul mengelak dan menyalib mobil balak itu dan dia berhasil mendahuluinya. Dengan tangan kirinya dia melambai, menoleh ke belakang, dan mengejek supir truk itu. Tapi belum lagi aku sempat mengingatkan keugal-ugalannya, sebuah mobil Kijang grand menghantam motor kami dan aku terpental dan kudengar jeritan panjang Azrul menggantung di udara...”Acccchhhhhhhhhh..”Sejenak kubuka mataku. Kupegang kepalaku. Dan tanganku penuh dengan darah segar. Lalu aku tidak tahu apa-apa lagi. Semua gelap dan aku tak sadarkan diri.
***
            ”Segera ke PMI. Siapa tahu di sana masih tersedia darah yang cocok dengan pasien ini.”
            ”Baik, Dok. Saya usahakan. Tetapi kalau tidak ada bagaimana, Dok?”
            ”Hubungi keluarganya. Bilang kita butuh darah O. Segera!”
Aku mendengar dialog singkat itu. Tapi aku tidak bisa membuka mataku. Tahulah aku bahwa sekarang aku berada di rumah sakit. Kecelakaan tadi telah mengantarkan aku ke ruangan yang penuh dengan bau obat ini. Azrul? Tiba-tiba aku teringat pada kunyuk satu itu. Ini semua gara-gara dia ngebut gila-gilaan tidak mendengarkan peringatanku. Di mana sahabatku itu?Apakah dia juga ada di sini? Di ruang manakah dia dirawat? Atau apakah dia tidak tertolong dan meninggal? Oh...tidak...tidak mungkin...kepalaku berdenyut-denyut.
            ”Dokter...dok...bagaimana keadaan temanku, Dok? Di mana dia dirawat? Aku ingin tahu keadaannya, Dok..” Dokter yang membersihkan luka di kepalaku diam saja seolah tidak mendengar pertanyaanku. Sesekali dia menukar perban yang bersimbah darah.
            ”Tolong ambilkan kapas itu, Suster. Cepat. Darahnya terus keluar. Bagaimana kabar dari PMI? Apa sudah ada darahnya?” Dokter itu bertanya kepada suster tanpa memperdulikan pertanyaanku.
”Belum ada kabar, Dok. Tetapi saya sudah menghubungi pihak keluarganya. Dan segera menuju ke sini” Suster itu menyerahkan kapas yang agak besar kepada dokter.
”Suster, bagaimana keadaan Azrul temanku?” Suster itu pun tidak bergeming, dengan telaten dan hati-hati sekali dia menjahit luka menganga di dadaku. Tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka dan Mama! Wanita tercinta itu mengahjmpiriku dengan airmata berderai deras. Mama memelukku. Menangis tersedu-sedu. Kulihat papa hanya berdiri terpaku dengan air mata meleleh pelan-pelan dari sudut mata tuanya.
”Ma...udah ma...jangan menagis lagi. Aku tidak apa-apa, Ma..Azrul, ma...dimana dia..bagaimana keadaannya, Ma.?”tanyaku. Tetapi mama tidak menjawab semua tanyaku. Mama terus saja menangis pilu sambil memanggil-manggil namaku tidak henti. Aku tidak mengerti mengapa semua orang tidak memperdulikan Azrul. Semua menangisi aku. Ini tidak adil. Oh...Azrul, dimanakah kamu..bagaimana keadaanmu. Aku menangis dan mencoba bangkit dari tempat tidur ini tapi seluruh persendianku kelu. Dengan susah payah kuseret kakiku menuju kamar-kamar lain di rumah sakit itu. Tepat di sudut sebuah ruangan aku melihat mama dan adik Azrul menangis. Aku menghampiri mereka berdua. Mudah-mudahan dengan mereka aku bisa mengetahui keadaan sahabatku itu.
”Tante, Di mana Azrul? Bagaimana keadaannya?” Tante marni tidak menjawab pertanyaanku. Dia memeluk erat tubuh anak perempuannya, adik Azrul sambil menangis meraung-raung.  Tiba-tiba pintu terbuka dan dua orang perawat mendorong sebuah tandu. Tante Marni dan adik Azrul menghampiri kedua perawat itu dan menyingkap kain putih penutup tubuh yang telah terbujur kaku itu.Mereka kembali menangis dan meratapi tubuh biru itu. Tubuh Azrul. Azrul sahabatku telah pergi. Azrul telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku menangis. Aku meratapi kepergiannya. Aku menyesal, mengapa harus berboncengan dengannya. Aku menyesal mengapa kami harus pulang terburu-buru. Mengapa kami tidak menunggu saja sampai hujan reda. Aku tidak sanggup melihat kepiluan kedua orang yang mengasihi Azrul itu menangisi dan meratapi kepergiannya. Aku berlari sambil terseret-seret menuju ruang tempatku di rawat. Kulihat dokter, suster, papa dan mama masih di sana. Ku dengar percakapan  mereka.
            ”Lebih baik Bapak dan Ibu ke bagian donor darah untuk mengecek darah Bapak dan Ibu, siapa tahu cukup untuk anak ini.”Pak dokter memberi saran kepada papa dan mamaku. Kulihat papa dan mama menggelengkan kepala pelan ke arah Pak Dokter.
            ”Maaf., Dok. Percuma aja. Selamanya darah kami tidak akan cocok dengan anak kami ini.” mama menyahut dengan deraian air mata. Papa merangku mama dan membesarkan hatinya.
”Masih ada harapan, ma. Bu Maryam!” Tiba-tiba ayah menyebut nama Bu Maryam dengan mata yang berbinar.
”Segera hubungi Bu Maryam!!” Tiba-tiba papa bersemangat dan segera pamit pada dokter. Kulihat ada seberkas asa di mata mama. Dia membelai-belai kepalaku lembut sambil membersihkan darah yang terus keluar dari hidung dan telingaku.
***
Ini hari ketiga aku terbaring tak perdaya di pembaringan yang penuh dengan alat-alat kedokteran yang tak kutahu entah apa namanya. Di sana sini, di kiri kananku, berseleweran selang. Juga di kedua lubang hidungku. Ingin rasanya kulepaskan selang yang menghuni lubang hidungku ini. Tapi dengan apa aku akan melepaskannya? Minta tolong mama? Sejak hari pertama aku di rumah sakit ini, tak seorang pun mau mendengarku. Dengan tanganku sendiri? Mana mungkin, bahkan untuk sekedar menggaruk saja aku tak mampu. Persendianku terasa lumpuh semua.
            Kutatap mama yang setia di sampingku. Matanya sembab karena terus menangisiku selama tiga hari ini. Ada sebuah surat yassin di tangannya. Komat-kamit mulutnya menggumamkan ayat-ayat suci. Aku tidak mengerti mengapa mama membacakan ayat-ayat itu. Biasanya mama membaca Al Quran di rumah, di ruang sholat atau di mesjid. Tetapi mengapa saat ini mama membaca surat yassin itu di rumah sakit ini? Sambil sesenggukan lagi. Ah…mama..ada-ada saja.
            “Assalamualaikum…” Tiba-tiba papa datang menghentikan bacaan mama. Di tangannya ada dua kantong darah segar.
”Ini, suster. Saya sudah mendapatkan darahnya. Segera hubungi dokternya, suster.”Papa menyerahkan kantong plastik bersisi darah itu. Suster segera menerima darah itu dan segera berlalu dari kamarku. Mungkin dia segera menemui dokter seperti permintaan papaku.
”Asslamualaikum...” Tiba-tiba di pintu sudah berdiri Bu Maryam yang disambut mama dengan isak tangis yang tertahan. Kulihat deras sekali air mata Bu Maryam  mengalir membasahi pipi tuanya. Wanita itu pun memeluk mama, lalu menghampiriku dan memelukku. Menciumku. Mencium keningku. Lama sekali sampai-sampai air matanya terasa membasahi keningku.
”Bertahanlah anakku...bertahanlah..”Bisiknya di telingaku. ”Darah itu akan memulihkan semuanya. Darah itu adalah kehidupanmu. Kehidupan yang selama ini terpisah dari ragamu. Bertahanlah, anakku..” ratap Bu Maryam dengan tak henti-hentinya menangis sesenggukan sambil memeluk tubuhku. Aku mencoba menerka maksud kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Bu maryam tetapi tidak bisa. Kepalaku tiba-tiba pusing, berputar-putar dan pandangan mataku berkunang-kunang.
***
            Darah merah entah milik siapa itu telah menyatu dalam tubuhku. Darah itu bukan dari tubuh mama atau papa. Tapi darah siapa? Siapakah gerangan yang telah sudi menyumbangkan darahnya untuk kelangsungan hidupku? Melalui percakapan papa dengan dokter jaga, aku tahu bahwa keadaanku agak membaik ketika darah itu berhasil dialirkan ke tubuhku. Cahaya harapan terlihat di wajah mama, papa dan Bu Maryam yang tidak pernah beranjak dari kamarku sejak kedatangannya. Ingin kubertanya kepada papa tentang siapakah orang yang mendonorkan darahnya untukku. Tapi lidahku kelu. Kepalaku tidak kuat kalau sudah memikirkan sesuatu. Semua terasa berat dan berputar-putar.Tiba-tiba mama menjerit ketika alat pengatur detak jantung yang terletak di sampingku berkedip-kedip merah dan berbunyi tut...tut..tut dengan cepat sekali. Beberapa suster berlari ke arahku diikuti oleh dokter jaga. Mereka semua sibuk mengecek, memasang selang-selang dan seorang dokter menekan-nekan dadaku. Aku mengingatnya seperti memancing jantung agar kembali berpacu. Menurut dokter tiba-tiba saja terjadi gangguan di jantungku dan membuatnya berhenti berfungsi.Kulihat papa dan mama panik bukan main. Mama dan Bu Maryam menagis pilu. Di mulutnya komat-kamit membacakan ayat-ayat suci. Dokter mengatakan kondisiku sangat kritis dan tim dokter sangat memerlukan bantuan doa mereka. Aku melihat kesibukan mereka yang sangat peduli dengan kesembuhanku. Dalam ketidaksadaran dan samar-samarnya pandangan mataku yang terasa makin meredup, aku juga melihat sekelebat sosok berjubah putih melayang-layang di luar jendela. Dia melambai-lambaikan tangannya.  Aku berteriak.
”Ma...mama...dia datang lagi, Ma...Mengapa dia selalu mengganggu tidurku, Ma...”
tetapi mama tidak memerdulikanku. Mama terus saja mengucapkan kalimah ”La illahaillaullaah Muhammad Rasulullah” di telinga kananku dan membisikkan agar aku mengikuti ucapannya. Berulang-ulang. Aku mendengarkannya dengan jelas tetapi agak terbata-bata mengikutinya.
            Sosok berjubah itu memasuki jendela dan melayang-layang di atas tubuhku..melayang-layang di antara lampu-lampu besar yang menyinari tubuhku.Tiba-tiba dia mengembangkan kedua tangannya. Jubah putihnya berkibar-kibar entah ditiup angin yang datang dari mana. Padahal ruangan ini tidak ada kipas angin. Sosok itu menampakkan wajahnya dan tersenyum padaku. Ada getar yang gemetar di dadaku ketika melihat senyumnya. Senyum itu belum pernah kulihat sebelumnya tetapi terasa sudah kukenal dan sangat dekat.
Minta maaflah padanya. Engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau telah menzalimi mahluk Allah. Kau telah menyakiti dan menganiyaya saudaramu. Minta maaflah padanya....”Kalimat itu diucapkannya lagi. Kali ini tangannya terulur padaku. Aku tidak mengerti. Kuberanikan diri untuk bertanya.
            ”Minta maaf kepada siapa?Aku telah menyakiti siapa? Aku telah menzalimi siapa? Siapa saudaraku?”
Sosok berjubah itu mendekat dan berbisik di teligaku.
            ”Di tubuhmu telah mengalir darahnya. Dia telah merelakan darahnya menyatu dengan tubuhmu walau dia belum tahu usahanya untuk memperpanjang hidupmu sia-sia saja. Ini sudah saatnya.. Minta maaflah padanya. Engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau telah menzalimi mahluk Allah. Kau telah menyakiti dan menganiyaya saudaramu. Minta maaflah padanya....” Sosok itu mengakhiri ucapannya dan melayang-layang di atas tubuhku. Aku semakin heran, tak seorang pun yang berada  di ruangan ini merasa terganggu dengan jubahnya yang ikut melayang ke sana ke mari.
            ”Cepatlah...segeralah...mari kita pergi...” Sosok itu mengulurkan tangannya kepadaku. ”Cepatlah minta maaf padanya sebelum semuanya terlambat.” katanya menambah kebingunganku. Kepalaku kembali pusing. Berpuatar-putar. Selalu begitu bila ada tanya yang tidak bisa kutemukan jawabnya.
”Aku...aku ti...tidak bisa...ak...aku tidak sanggup ...lagi....” aku tidak teringat apa-apa lagi. Selintas kudengar jeritan mama dan Bu Maryam...
***
            Aku berdiri di tengah kerumunan banyak orang. Di sini ada mama, papa, Bu Maryam yang sedang memeluk mama sambil tidak henti-hentinya menangis. Teman-teman sekolahku juga hadir. Mereka masih lengkap berseragam. Semua terdiam membisu. Beberapa kulihat menangis. Tiba-tiba..
            ”Mari kita berdoa bersama demi ketenangan arwahnya menuju jalan kembali kepada Allah Subhanahu Wataalla..” Pak Haji Husien, kerabat dekat papa, yang biasa ku panggil Oom Ucin memimpin doa dengan khusuk. Ku lihat mama menghapus air matanya. Mama sama sekali tidak melihatku. Dia sibuk menaburkan bunga warna-warni itu di antar dua nisan yang ditancapkan di tanah merah itu. Aku membaca nama yang tertulis di batu nisan yang sedang diusap-usap mama dan Bu Maryam. ”Muhammad Andika Satrio, lahir 30 Juni 1991, wafat 5 September 2008” aku terpana dan ternganga membaca tulisan di papan nisan yang tidak begitu rapi itu. Aku...ah...apa artinya semua ini...?
            ”Ma...mama...apa yang terjadi, ma...papa...jangan pergi, Pa...tunggu aku...pa...” Kulihat semua orang termasuk mama dan papaku meninggalkan area pekuburan ini. Juga teman-teman sekolahku. Tetapi, mengapa anak kampung ini masih betah di sini? Dan dia menangis. Menyeka air matanya dalam diamnya. Atan, anak kampung yang selalu menerima cemoohanku, anak kampung yang selalu diam ketika kusakiti itu, menangis. Menangis tersedu-sedu...”
            ”Ternyata...Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bersama...ternyata Tuhan lebih memilih jalan ini untuk kita....bahkan darah yang mengalir ditubuhku pun tak sanggup menyambung hidupmu, adikku....darahku tidak berhasil membuatmu kembali bersamaku..bersama ibu kita...” Atan, anak kampung yang selalu berprestasi itu memeluk nisan itu, tangannya mencengkeram tanah basah di depannya.
            ”Sudahlah, Nak...maafkan adikmu...dia tidak tahu bahwa kau adalah abangnya. Dia tidak tahu bahwa kalian sudah lama terpisahkan.” Bu Maryam datang menghampiri Atan dan membelai rambutnya.
            ”Aku sudah sering ingin mengatakan hal ini, Bu. Aku ingin mengatakan kalau dia adalah adik kandungku. Tapi kesempatan itu selalu tidak ada, Bu. Aku menyesalinya. Aku tidak pernah dendam padanya walau dia selalu menyakitiku. Aku menyayanginya, Bu. Aku berharap suatu saat bisa mengatakan hal ini dengannya. Tapi semua sudah terlambat.” Atan kembali menangis.
            Aku terpana dan semua kalimat bahkan kata-kata yang ingin terucap tersendat di tenggorokan…ternyata….ternyata orang yang selama ini kusakiti…kuzalimi…..adalah saudara kandungku…”Oh……sosok berjubah putih….oh…malaikat…..mrengapa tak kau katakan ini Sejak dulu….?”jeritku.Sekelebat bayangan putih itu datang menghampiriku dan kembali mengulangi kalimat dalam mimpi-mimpiku.
            ” Minta maaflah padanya. Engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau telah menzalimi mahluk Allah. Kau telah menyakiti dan menganiyaya saudaramu. Minta maaflah padanya....” Aku memeluk dan tersungkur di pangkuan Atan dan memohon maaf padanya. Dia diam saja dan masih tetap menangis. Kulihat Atan memejamkan matanya. Di sudut matanya mengalir deras bulir-bulir bening.
            ”Ya Allah.Ampuni semua dosa-dosanya. Lapangkanlah kuburan adikku...lapangkanlah jalannya menuju sisi-Mu...aku sudah memaafkan semua kesalahannya...Ya Allah...aminnnn.” Atan menutup doanya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.  Tiba-tiba tubuhku terasa ringan...ringan sekali. Tiba-tiba kakiku tak berjejak lagi ke bumi. Tiba-tiba sosok berjubah putih itu kembali hadir mengembangkan kedua tangannya, mengulurkan tangannya membawaku terbang tinggi...tinggi sekali menuju langit, menghampiri pelangi jingga yang seolah menanti kehadiranku. Meninggalkan semua yang ada di bumi.
***
Penulis: Dra. Sitti Syathariah
Guru Bahasa Indonesia SMA Cendana Pekanbaru.
Komplek Palem-PT Chevron Pacifik Indonesia, Rumbai Pekanbaru Riau
Hp. 081365456007- 0761 51710


Komentar

Postingan Populer