RINDU
YANG TERPASUNG (episode kedua)
Keheningan malam bulan Oktober menyejukkan hati siapa pun
yang tak sempat memejamkaan mata di malam itu. Di luar, angin bertiup
sepoi-sepoi mengiringi gerimis menambah syahdunya suasana. Tengah malam begini,
perempuan berkulit hitam manis itu sudah terbiasa berlama-lama di depan laptopnya
melanjutkan penggalan-penggalan cerita yang belum selesai dibuatnya. Malam ini Arini kembali menghidupkan laptopnya. Komputer jinjing itu selalu
setia menemani malamnya. Disuputnya seteguk mokacino hangat. Sejenak dibacanya
kisah yang baru ditulisnya kemarin malam. Tetapi konsentrasinya jadi buyar.
Bayangan lelaki itu selalu menghantui pikirannya. Wajah lelaki yang pernah
hadir di masa lalunya itu akhir-akhir ini tak pernah lepas. Entah mengapa
kehadiran lelaki itu telah menyita pikirannya. Arini tak sanggup menjawab tanya
itu. Perasaan itu sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Perempuan itu sudah
berusaha melupakannya tetapi tidak berhasil juga. Bayangan lelaki itu kini
mengisi hari-harinya.
Arini tidak juga bisa menghadirkan mood untuk melanjutkan ceritanya. Beberapa pesan singkat yang belum
sempat dihapusnya dari lelaki itu kembali dibacanya. Setiap kali membacanya,
jantungnya berdebar-debar seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta.
Pesan-pesan singkat itu telah membangkitkan sesuatu yang selama ini tersimpan
dan tak terusik. Pesan-pesan berisi
kerinduan dan cinta yang masih terpendam itu sangat membuai perasaannya. Lelaki
itu begitu sempurna mendeskripsikan kerinduannya sehingga Arini larut dan
tenggelam dalam arus cinta masa remajanya. Sebuah kekhawatiran berkecamuk dalam
pikirannya.
Malam semakin larut. Lagu “Aku Harus Jujur” yang
dinyanyikan oleh Sammy Krispatih mengalun lembut terdengar melalui speaker laptopnya. Lagu berisi pengakuan tentang
ketidakjujuran cinta terhadap pasangan itu terdengar begitu pas dengan keadaan
Arini saat ini. Perempuan itu galau dan tidak tahu harus bagaimana menata
hatinya. Sudah berkali-kali dia mencoba berdamai dengan dirinya untuk tidak
berpihak pada rasa yang tiba-tiba saja hadir menyergap dan sulit untuk ditepis.
Rasa yang membuat jantungnya terkadang berdebar tak menentu. Hatinya perih
ketika menyadari bahwa rasa ini harus segera dihilangkan dan tidak boleh
dipelihara karena akan menjadi duri dalam daging yang tentu saja akan
menimbulkan luka yang amat dalam. Tidak hanya bagi dirinya tetapi juga
menyakitkan bagi orang-orang yang dicintainya.
Tetapi lelaki bernama Rizal itu tidak bisa dilupakannya.
Entah mengapa begitu sulit ditepisnya padahal sebelumnya dia tidak pernah
memikirkannya. Memang sudah lama sekali. 25 tahun. Ya.25 tahun bukanlah waktu
yang sebentar. Seperempat abad lamanya, dan kisah itu seperti baru kemarin
terjadi. Sebuah gambaran masa remaja bermain-main di kelopak matanya. Sebuah
masa yang tak pernah sempat dinikmati bersama seseorang yang pernah sangat
diharapkannya.
Arini resah dalam
kesendirian malamnya. Perempuan itu merebahkan dirinya di ranjang kecil di
kamar kerjanya. Arini terlentang memandang langit-langit kamar. Wajah lelaki
mula-mula itu menatapnya dengan mata
elang yang mempesona. Sepotong wajah yang dulu selalu menatapnya dalam diam
seperti menyimpan sejuta rasa yang ingin diungkapkan. Sekarang, setelah 25
tahun, lelaki itu muncul lagi walau hanya suara dan pesan-pesan singkatnya yang
romantis. Sudah lama sekali. Dulu Arini remaja selalu berharap mendengar sebuah
pernyataan cinta terucap dari bibir itu, tatapi bertahun-tahun pula lelaki itu
tidak pernah mau mengatakannya.
Tetapi sekarang, setelah 25 tahun, lelaki itu baru berani
mengatakan bahwa dia masih mencintainya dan merindukannya, bahkan masih tetap
berharap Tuhan akan menyatukan mereka sebagai suami istri di suatu saat
nanti, walau entah kapan itu terjadi.
Lelaki itu akan menunggunya! Arini menahan debar di jantungnya. Dawai-dawai
kerinduan itu kembali mengalun indah, tetapi mungkinkah itu terjadi? Arini
tidak berani berandai-andai. Ketakutan merasuk dalam pikirannya. Perempuan itu menepis pikiran buruk yang
tiba-tiba menyelinap. Pesan singkat itu kembali dibacanya.
“Kakak berharap suatu saat Tuhan memberikan sekali lagi
kesempatan, menyatukan hati kita yang dulu tak sempat
disatukannya....mudah-mudahan suatu saat adek akan menjadi istri kakak.. Kakak
akan menunggu adek meskipun kita sudah lanjut usia. Kakak akan menuggu saat
itu...saat di mana kita tidak lagi dimiliki oleh orang lain...”
Arini mencoba memahami pengakuan tulus penuh cinta itu.
Arini mencoba meyakini bahwa Rizal tidak main-main dengan niatnya. Tanpa terasa
pelupuk matanya mulai menghangat. Arini terharu dan menangis. Dia tidak
menyangka sama sekali bahwa cinta lelaki itu begitu kuat padanya. Ah, andai
saja...Arini menarik nafas panjang. Bulir-bulir bening itu masih menghangat di
sudut matanya. Perempuan itu benar-benar larut dalam keharuan. Rasa bahagia dan
takut membaur jadi satu. Bahagia karena setelah sekian lama, akhirnya pengakuan
cinta dari mulut lelaki itu terdengar juga
walau hanya lewat hand phone. Rasa takut menendang-nendang
bathinnya karena dia tidak pernah mengalami hal semacam ini selama
perkawinannya. Ridwan adalah suami yang baik dan sangat mencintainya. Arini
tidak sanggup mengkianati lelaki itu. Belum pernah sekalipun dia memikirkan
lelaki lain selain suaminya. Arini menghapus bulir-bulir bening yang mengalir
deras di kedua pipinya. Perempuan itu tak sanggup menahan gejolak perasaannya.
Hatinya galau tak menentu. Pengakuan cinta itu sudah lama sekali ingin
didengarnya, tetapi mengapa baru sekarang setelah mereka sama-sama memiliki
keluarga yang bahagia? Isaknya tertahan di tenggorokan. Suara di seberang sana
masih saja dengan lancar mengungkapkan segala rasa yang selama ini terpendam
dan tak terlafaskan. Sepertinya kesempatan untuk mengungkapkan semua itu baru
datang sekarang. Rizal seolah tidak ingin membuang kesempatan itu. Tangan Arini gemetar memegang handphone yang masih menempel di
telinganya. Ungkapan perasaan Rizal
begitu dahsyat dan kuat menghantam dinding hatinya, mengharukan, menggetarkan,
dan merasuk masuk ke dalam sanubarinya. Kata-kata pemungkas yang belum pernah
terbayangkan akan didengar olehnya bahkan setelah 25 tahun mereka tidak
bertemu. Arini terbungkam kelu. Perempuan itu berusaha meredam debar jantungnya
dan getar-getar yang mengalun indah dalam sanubarinya. Lelaki masa lalunya itu
telah menghidupkan kembali nyala api cinta yang pernah redup di antara mereka.
Ya! Api cinta di antara mereka ternyata hanya redup dan tidak pernah padam sama
sekali. Arini mematikan handphonenya.
Rizal baru saja menutup pertemuan itu dengan lembut. Arini memajmkan matanya
dan berusaha menenangkan getar asmara masa lalu yang kembali membunga di hatinya.
“Aku mencintaimu,
sayang. Kaulah perempuan pertama dalam hidupku. Takkan pernah tergantikan dan
terlupakan sampai akhir hayatku. Aku yakin kau pun merasakan hal yang sama..”
Ada
sepotong kebahagiaan yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata ketika Arini
mendengar pengakuan itu. Pengakuan cinta dan sayang dari seseorang yang sangat
dicintainya pada masa lalu dan ternyata masih tetap mencintainya hingga saat
ini. Haruskah aku jujur?Arini berdebat dengan nuraninya.
“Tuhan...kenapa
kau hadirkan dia di saat seperti ini?Kenapa akhirnya kau berikan kesempatan
padaku untuk mendengarkan ungkapan yang sudah sangat lama ingin kudengar dari
mulutnya? Tapi, kenapa sekarang?”
Arini berharap Tuhan akan mengampuninya atas perasaan
yang masih tersimpan dalam hatinya ini. Arini tidak kuasa menahan gejolak
perasaannya. Perempuan itu mengunci kamar kerjanya dan menumpahkan tangisnya di
sana. Dia tidak ingin tangisnya diketahui oleh anak-anak dan suaminya yang
sudah lelap sejak beberapa jam yang lalu. Arni melungkupkan wajahnya ke bantal
mencoba menghilangkan bayang-bayang lelaki masa lalunya itu. Perempuan itu
mulai menyadari bahwa sebenarnya getar cinta dan rindu itu masih bersemayam
sejak lama dalam dirinya. Rupanya selama ini rasa itu tersimpan rapi tidak
terusik dan tak terpedulikan. Mungkin
mengabur dan meredup bersama keceriaan hari-hari bersama anak-anak dan
kebahagiaan bersama suami yang sangat mengasihinya. Rasa itu berdiam dengan
manis di sudut hatinya tanpa seorang pun yang tahu termasuk suami yang
dicintainya. Arini meyakini bahwa rasa ini tidak akan mengurangi kasih sayang
dan cintanya terhadap suami dan anak-anaknya. Rasa yang memang tidak bisa dihilangkan begitu
saja. Rizal adalah lelaki yang mula-mula menghadirkan getar-getar halus di
dadanya. Lelaki yang pertama kali mengiriminya surat meskipun tak sekalipun
isinya berbicara tentang cinta. Arini berusaha membelenggu rasa itu agar tidak
menjadi duri dalam mahligai rumah tangganya juga mahligai lelaki mula-mulanya
itu. Tetapi tetap saja dia tidak bisa menghalau perasaan itu. Ibu dua anak itu
benar-benar telah terperangkap dalam arus kisah kasih yang tiba-tiba bersemi
kembali setelah 25 tahun. Saat di mana usia mereka sudah tidak muda lagi dan
sudah memiliki keluarga yang bahagia. Arini membasuh mukanya. Dilihatnya
matanya memerah dan terlihat sedikit sembab.
Kantuk sudah mulai hinggap di pelupuk matanya. Arini
menguap panjang. Rasanya matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Cerpen
itu tak jadi diteruskannya. Teguk terakhir mokacinonya sudah habis sekitar
setengah jam yang lalu. Sekilas dilayangkannya pandangannya ke dinding. Sudah
pukul 01.30. Perempuan itu belum juga bisa memejamkan matanya. Perempuan itu
diliputi rasa bersalah terhadap keluarga kecilnya. Perempuan itu merasa bersalah
karena telah mencintai lelaki lain selain suaminya. Arini telah merasa
mengkianati rumah tangga yang sudah dibinanya selama ini. Arini takut. Arini
ingin semua ini berakhir dan tidak ingin mengingat lelaki itu lagi, tetapi
perempuan itu tidak kuasa menahan gejolak perasaan yang tiba-tiba menguasai
emosi dan menunggangi logikanya. Ternyata cinta pertamanya begitu membekas dan
sulit terhapuskan.
Arini merasa benar-benar tidak pantas menikmati
kebahagiaan yang ditawarkan lelaki di masa lalunya itu. Meskipun hubungan yang
terjalin hanya lewat pesan-pesan singkat, tetap saja Arini merasa bersalah pada
suami dan anak-anaknya. Hatinya galau. Perasaannya risau. Ingin rasanya dia
tidak lagi menjalin silaturahmi yang sudah lama terputus ini. Tetapi selalu
saja dia tidak mampu menghindar dan selalu berharap lelaki itu muncul suatu
saat di hadapannya. Arini menyimpan rindu terhadap lelaki itu. Ada perasaan
kehilangan bila pesan atau telepon lelaki itu tidak muncul. Perasaan ini
benar-benar telah menghipnotis Arini. Arini sama sekali tidak bermaksud menodai
kebahagiaan keluargaanya. Arini juga yakin Rizal berfikiran yang sama
dengannya. Keluarga mereka di atas segalanya. Dia hanya menyimpan cinta pada
lelaki itu dan tidak akan memilikinya karena dia menyadari bahwa cinta mereka
terlalu suci untuk menodai keluarga bahagia yang telah dengan susah payah
mereka bina selama ini. Kebahagiaan cinta itu tidak mengharuskan mereka untuk
berpaling dari pasanganya. Arini dan Rizal meyakini bahwa cinta tidak harus
memiliki meskipun semua itu sudah ada yang mengaturnya.
Arini terpekur. Dalam diamnya
perempuan itu mengadu pada Tuhannya.
“Ya
Allah,
Kuingin
melupakannya
Tetapi
kuterluka...
Kuingin
menjauh darinya..
Tapi
kutersiksa
Ya
Allah,
Izinkan
aku memeluk cintanya dengan keikhlsan
Yang
sempurna...
Karena
dialah lelaki mula-mula...
Yang
mengenalkan arti cinta
Perempuan berkaca mata minus itu kembali menangis.
Terdengar isaknya tertahan. Bahunya berguncang. Ditelungkupkannya kedua telapak
tangannya ke wajahnya. Perempuan itu tak kuat menahan gejolak perasaan dan menumpahkan semua galau dan risau di hatinya.
Arini tafakur mengadu pada yang MahaTahu atas segala yang dirasakan dan yang
berkecamuk dalam hatinya.
***
Komentar
Posting Komentar