CINTA YANG TERABAIKAN (episode ketiga)
Di seberang
sana Rizal bersandar di sebuah kursi di teras rumahnya. Sejak tadi lelaki itu
menatap bintang yang berkedip lembut di langit malam. Semilir angin laut
menemani lelaki yang matang dimakan usia itu. Sesekali dihirupnya dalam-dalam
asap rokok yang selalu setia menemani hari-harinya. Lelaki itu adalah lelaki 25
tahun yang lalu. Lelaki yang hanya mampu memandang Arini dari jauh dan hanya
berbicara lewat mata elangnya. Lelaki yang sudah menghadirkan kembali
getar-getar halus di sudut hati Arini.
Rizal sedang
galau dan tak berhenti berdebat dengan nuraninya. Perasaan bersalah dan
menyesali kebodohan di masa lalu menghantui pikirannya melebihi rasa bersalah
pada istrinya karena masih menyayangi
perempuan lain selain dirinya. Rizal berbicara pada hatinya.
“Seandainya
dulu aku berani mengungkapkan semua isi hatiku, mungkin dialah yang menjadi
pendamping hidupku saat ini. Kenapa dulu aku terlalu naïf?”
Lelaki itu merebahkan tubuhnya di kursi panjang dengan
kepala beralaskan kedua tangannya. Di langit ada dua bintang berpendar pelan.
Bayangan wajah perempuan yang disayangi di masa lalu itu juga berpendar di
antara bintang-bintang itu. Rizal tak sanggup mengusir keberadaan perempuan
masa lalunya itu. Arini memang tidak bisa dibandingkan dengan istri yang sangat
dicintainya. Kini ada dua hati yang telah mengisi hatinya. Arini adalah
perempuan pertama yang mampu menciptakan getar-getar indah di dadanya. Arini
adalah seseorang yang pada waktu itu tidak mampu digapainya hanya karena sebuah
alasan yang tidak jelas. Rizal mengutuk dirinya. Arini adalah cinta pertamanya,
sebuah cinta yang tak sempat bersemi dan begitu sulit dihilangkan. Dan
sepertinya, kuncup yang belum sempat mekar itu, kini mulai menampakkan
kelopaknya dan mulai bermekaran. Rizal melihat kedip bintang dan dia menemukan
sepotong senyum bahagia Arini di balik bintang-bintang yang berpendar itu.
Rizal tersenyum dalam kesendiriannya. Kembali dihisapnya
rokoknya. Lelaki itu seolah menemukan kembali sesuatu yang selama ini hilang.
Dibacanya pesan singkat itu sekali lagi. Ada getar rindu bersemayam di hatinya.
Rizal bangkit dari duduknya dan kembali ke kamar kerjanya. Dihidupnya laptop dan membuka akun facebook. Kembali ditatapnya lekat-lekat
wajah seseorang yang sangat dirindukannya itu. Semakin ditatapnya semakin
kerinduan itu menyesak dadanya. Ada sebuah keinginan untuk bertemu dengannya.
Tetapi pantaskah?Rizal mengerjapkan matanya. Ada galau dan risau dalam
pikirannya. Cinta ini begitu kuat menariknya untuk masuk dan terperangkap dalam
lingkarannya. Lelaki itu seperti kembali ke masa lalu. Masa dimana dia merasa
terlalu bodoh membiarkan sahabatnya mendekati dan memiliki perempuan pujaannya
itu. Rizal berdebat dengan hatinya.
“Seandainya dari dulu aku tahu bahwa kau juga
mengharapkan aku, tentu aku tidak akan sebodoh itu, membiarkan dirimu dimiliki
oleh temanku.”
Lelaki itu kembali menghisap rokoknya dalam-dalam.
Pikirannya jauh ke seberang melayang melewati laut, merambah lembah dan
menyisiri hutan hingga sampai pada sepotong wajah perempuan yang kini sedang
tafakur dalam diam bersujud di keheningan malam. Arini seperti merasakan getar
yang maha dahsyat. Dia seperti merasakan kehadiran Rizal di kamarnya. Lelaki
itu duduk di kursi sudut kamar dan memperhatikannya dalam diam. Dalam pejam matanya, Arini bergumam memohon
pada Tuhannya. Rizal, lelaki mula-mulanya itu memperhatikannya dan menikmati
wajah kekasih masa lalunya itu. Ingin sekali dipeluknya tubuh itu, tatapi dia
tidak mau mengganggu pertemuan kekasihnya itu dengan Tuhannya.
“Ya Allah...bila mencintainya sebuah
dosa...kumohon...bantulah aku untuk melupakannya...aminnn..”
Arini menghapus sisa air mata yang membekas di pipinya
dan menshut down laptopnya. Perempuan itu bersiap-siap meninggalkan kamar kerjanya.
Rizal masih duduk dalam diam di kursi sudut kamar kerja sambil
memperhatikannya. Arini bangkit dan memasuki kamar tidurnya. Perempuan itu
merebahkan tubuhnya di samping suami yang sudah 18 tahun menjadi pendamping
hidupnya. Arini memejamkan mata berusaha untuk bisa tidur dengan tenang. Tetapi
lelaki mula-mula itu diam-diam memasuki kamar tidurnya dan menyelinap dalam
tidurnya.
Arini menyusupkan kepalanya dalam pelukan suaminya.
Lelaki itu mengecup keningnya sambil bergumam pelan dengan mata masih terpejam.
“Udah siap cerpennya,
Ma?”
Arini tidak menjawab pertanyaan suaminya. Perempuan itu
sudah lelap dan sudah berada dalam dunia lain. Sebuah dunia yang rasanya dia
pernah ada di dalamnya. Tapi dimana? Arini mencoba mengingatnya tapi tidak
berhasil mengembalikan memori masa lalunya.
Arini tertegun. Perempuan itu melihat lelaki mula-mulanya duduk di kursi
dan menatapnya. Menatapnya dalam diam. Arini melihat ada cinta di matanya.
Arini mengikuti saja langkah kakinya menghampiri lelaki itu dan duduk di
sebelahnya. Rizal tidak berhenti memandangnya. Lekat di bola mata Arini. Arini
tertunduk. Perempuan itu membeku dan membisu. Debar di jantungnya semakin tidak
beraturan. Tiba-tiba lelaki itu menggenggam jemarinya. Getar halus merambat dan
menjalar ke seluruh tubuh Arini. Rizal tidak melepaskan genggamannya.
Diremasnya dengan lembut jemari itu. Arini tidak berusaha melepasnya dan
membiarkan jemarinya berada dalam genggaman lelaki yang mengisi pikirannya
selama dua bulan ini. Arini melenguh menahan gelora di hatinya. Debar di
jantungnya semakin tidak beraturan. Lenguhannya membuat suaminya mempererat
pelukannya. Perempuan itu terlelap dalam pelukan suami yang sangat dicintainya.
Suami yang belum pernah sekali pun menyakiti hati dan jiwanya. Lelaki yang
mencintainya dengan apa adanya.
Rizal mengangkat dagu Arini dan memandang perempuan itu
dengan lembut dan mesra. Mereka saling memandang tanpa berkata sepatah pun.
Tatapan mata mereka yang beradu telah mampu menyampaikan sejuta rasa yang
mereka rasakan. Tatapan Rizal begitu lembut. Entah dengan kekuatan dan
keberanian dari mana, lelaki itu berani mengecup lembut kening Arini, lalu
mengecup matanya. Rizal tak sanggup menahan hasratnya ketika dilihatnya bibir
mungil Arini sedikit terbuka. Lelaki itu tidak membuang kesempatan itu karena
dia yakin Arini tidak akan menolaknya. Rizal mengecup lembut bibir mungil dan
tipis itu. Melumatnya dengan penuh perasaan dan tak ingin melepasnya sedetik
pun. Bibir itu bergetar. Arini mendesah dan tidak berusaha menolaknya.
Perempuan itu bahkan memejamkan matanya, membalasnya, memeluknya, dan menikmati
kelembutan yang dipersembahkan lelaki yang masih dicintainya itu. Ada getar
indah yang menghadirkan kenikmatan yang belum sempat mereka nikmati selama 25
tahun ini. Rizal tak membuang kesempatan yang sudah lama sekali diharapkannya
itu. Lelaki itu memagut lembut kekasih hatinya dengan segenap kerinduan yang
terbelenggu selama ini. Rizal seolah takut kehilangan kesempatan dan tidak
ingin melepaskannya. Lelaki itu memeluk Arini dengan penuh kasih dan membawanya
terbang ke singgasana cinta yang hanya mereka yang mampu memaknainya. Dua hati
yang saling merindu itu menyatu dalam kemurnian cinta yang tak hapus dimakan
waktu dan usia. Kerinduan dan cinta kasih yang selama ini terpasung, malam ini
seperti terleraikan dan lepas dari kungkungan yang mengikat. Kerinduan yang
terpendam itu sekarang seolah tergenapkan. Arini dan Rizal menyatu dalam
dekapan keabadian cinta yang sulit dijelaskan dengan rangkaian kata-kata,
bahkan seorang Khalil Gibran pun tak
sanggup menguntai kata untuk menasbihkan gelora cinta mereka menjadi sebuah
puisi cinta yang paling romantis sekalipun. Rizal dan Arini telah menemukan
sumur cinta yang telah lama mereka nantikan dan mereka pun memuaskan dahaga
dengan mereguk airnya sepuas-puasnya.***
Di seberang sana, Rizal baru saja terbangun dari tidur
pulasnya. Ada bias kebahagiaan tersisa di wajahnya. Lelaki itu baru saja
menyelesaikan malamnya bersama istri tercintanya dengan kebahagiaan sempurna.
Dikecupnya kening istrinya dengan lembut. Perempuan teman hidupnya itu pastilah
tidak memahami apa yang dirasakan oleh suaminya beberapa saat yang lalu. Desah
nafas lembut Arini masih diingat Rizal dengan jelas. Lelaki itu memandangi
istrinya dengan perasaan bersalah.
“Maafkan aku, sayang. Aku tidak bisa menghapus bayang
dirinya, bahkan di saat kebersamaan kita sekalipun, dia hadir tanpa sanggup
kuhindari. Dia cinta pertamaku, sedang kau adalah ibu dari anak-anakku...kalian
berdua telah mengisi hatiku”
Rizal menarik nafas panjang dan bangkit ke luar kamar. Di
luar dia masih melihat bintang-bintang berkedip manja. Sepotong wajah yang
dirindukannya masih tampak disela-sela kerlip bintang-bintang itu. Rizal
kembali merebahkan tubuhnya di kursi teras rumahnya. Di alaskannya kepalanya
dengan dua tangannya. Sayup-sayup radio tetangga menyiarkan musik kenangan.
Suara Titik Sandora dan Muchsin Alatas
terdengar syahdu di telinga Rizal. Lelaki itu menikmati syair lagu yang sangat
sesuai dengan kisah kasihnya dengan Arini itu.
...”Betapa sayangku engkau pun tau..
Kukira kau pun begitu..
Namun sayang...adalah sesuatu..
Antara engkau dan aku..
di antara hatimu..hatiku..
Terbentang dinding yang tinggi..
Tak satu jua jendela di sana
Agar ku memandangmu..
Rizal menikmati lagu “Hatimu Hatiku” itu dalam kesendirian malamnya. Lelaki itu
memejamkan matanya. Bayangan Arini masih setia bertahta dalam pikirannya.
Lelaki itu membuka kembali lembar-lembar memori masa lalunya dan mulai
meneruskan kembali goresan-goresan yang pernah tertinggal dan belum sempat
dinikmatinya bersama seseorang yang pernah sangat diharapkan menjadi pendamping
hidupnya. Rizal kembali terlelap. Ada senyum bahagia tersungging dibibirnya.***
Gerimis sudah berganti dengan rintik-rintik hujan yang
semakin deras. Malam semakin tua dan melelahkan. Arini melenguh pelan. Wajahnya
membias kebahagiaan. Suara lenguhannya menyadarkan suaminya dan lelaki terkasih
itu kembali memeluknya dan membenamkan kepala istrinya di dadanya. Dilihatnya,
istrinya itu begitu nyenyak. Mungkin kelelahan menyelesaikan cerpennya,
pikirnya. Dan Ridwan kembali tertidur sambil memeluk istri yang sangat
dikasihinya itu. Arini terlelap dalam dekapan suaminya. Sesaat kemudian, Arini
menggeliat dan perempuan itu seperti terbangun dari tidur panjangnya yang
melelahkan. Sekilas bayangan Rizal melintasi pikirannya. Arini menatap suami
yang dikasihinya itu. Begitu pulas tidurnya. Ada rasa bersalah dan berdosa pada
suaminya manakala dia teringat mimpinya.
“Maafkan, Aku sayang. Semua ini diluar kekuasaanku. Aku
tidak bermaksud menyakitimu tetapi aku juga masih menyayanginya dan belum bisa
menghapus bayang-bayangnya. Aku tidak mengharapkan apa-apa darinya. Tidak dalam
bentuk apa pun karena kutahu bahwa kami tidak mungkin bisa saling memiliki. Aku
cukup bahagia karena mengetahui bahwa dia juga masih menyayangiku. Maafkan, aku
sayang..aku tidak akan berpaling darimu meskipun di hatiku masih menyimpan
cinta untuknya.”
Arini bangkit dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi
untuk mensucikan dirinya. Meskipun hanya dalam mimpi, tetapi perempuan itu
merasa sangat berdosa dan kotor. Air matanya membaur bersama air yang mengguyur
seluruh tubuhnya. Perempuan itu menangisi dirinya. Rasa bersalah membuatnya
merasa sangat berdosa kepada suami dan Tuhannya. “Ampuni aku ya. Allah. Maafkan aku suamiku..” bisiknya pelan.
Di luar hujan
semakin deras. Sederas air mata Arini yang mengalir membasahi pipinya.
***
(bersambung ke episode
keempat, Kisah Yang Tertunda....)
Komentar
Posting Komentar