True Story: TOPI HITAM BERTALI MERAH
True Story:
TOPI HITAM BERTALI MERAH
(in memoriam pahlawan hidupku, surga firdauslah tempat terindahmu, Abah..aamiin)
Setiap orang boleh bermimpi karena di dalamnya terdapat harapan yang akan diwujudkan. Namun, untuk mewujudkan mimpi itu, kita harus terjaga dari tidur, harus bangun dan bangkit dari tidur agar bisa bergerak untuk mewujudkan asa dan harapan itu.
Kata-kata bijak ini sangat mempengaruhi hidupku selama empat tahun ini. Tertancap kuat dan menjadi energi positif bagiku saat menjalankan pendidikan di rantau orang. Jauh dari orang tua dan keluarga. Saat ini mimpiku sudah terwujud walaupun belum seutuhnya. Paling tidak, aku sudah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggiku dan segera diwisuda. Asa itu sudah dalam genggaman dan siap untuk kubuka genggaman itu di waktunya nanti. Masanya segera tiba. Aku akan ambil bagian untuk mencerdaskan bangs aini. Tunggu saja.
Kujalani dulu momen penting ini. Wisuda. Ya, wisuda. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa wisuda itu tidak penting dan hanya acara formalitas saja. Seremonial dan basa-basi. Hanya foto-foto dan setelah itu selesai. Namun, tidak bagiku. Terutama bagi Abah. Lelaki pertama dalam hidupku itu sangat menunggu momen penting ini. Aku juga sama. Wisuda itu penting dan harus didokumentasikan agar menjadi kenangan dan motivasi bagi anak cucu nantinya. Terserah dengan anggapan yang berbeda tentang ini. Setiap orang punya opini sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing, bukan?
Mhmm..kulihat Pia sibuk menyiapkan baju kebaya cantik yang akan dipakainya ketika wisuda nanti. Pia mengatakan harus ada kebaya khusus untuk wisuda sarjana yang sudah lama ditunggu-tunggu ini. Pia juga mengganggap penting hari wisuda ini. Tentu saja dengan alasan yang tidak sama denganku. Namun, benarkah kebaya itu penting?Tidak penting, pikirku dalam diam. Ya. Dalam diam saja karena aku tidak ingin mematahkan semangat sahabat baikku ini. Dia mampu menyiapkan kebaya mahal dan itu sah-sah saja, bukan. Aku harus mendukungnya walau aku tidak bisa seperti dia.
Bagiku, yang paling penting dan wajib ada itu adalah topi hitam bertali merah ini. Aku mengambil topi yang tersangkut angkuh di balik pintu kamar. Mengusapnya dengan bangga. Ini buat Abah. Aku mencium topi itu penuh hidmat dan haru. Abah sangat ingin melihat anak gadisnya memakai topi hitam ini. Abah ingin sekali memajang foto sarjanaku di ruang tamu rumah. Tentu saja dengan jubah hitam dan topi hitam bertali merah ini. Sebuah kebanggaan yang tiada taranya ketika sebuah rumah di kampung memajang foto sarjana anaknya, apalagi yang sarjana itu adalah anak perempuannya.
Seminggu yang lalu Abah mengirim pesan, mengingatkanku agar tidak lupa menyewa topi hitam bertali merah itu. Padahal, memang suatu keharusan bagi calon wisudawan dan wisadawati. Abah memang tidak tau tentang keharusan ini. Aku tersenyum mengingatnya.
“Jangan lupa topi hitam bertali merah itu, Masriah. Abah ingin kamu difoto pakai topi hitam yang ada tali merah itu dan pakai jubah hitam juga ya.”
Begitulah pesan Abah dengan semangat dan suka cita seolah tidak sabar menyaksikan aku dengan baju kebanggaan para mahasiswa itu. Aku kembali mengelus-elus toga sarjana itu. Kucium sepenuh hati. Terbayang senyum bangga dan bahagia Abah menyaksikanku dengan jubah dan topi hitam bertali merah berjalan menghampiri panggung kebesaran. Aku berjalan tegap menuju panggung kehormatan! Lalu merundukkan kepalaku. Pak Rektor memegang tali merah itu dan menggesernya ke kanan lalu menyalamiku dengan senyum arifnya. Lalu, Pak Dekan menyerahkan ijazah sarjana itu padaku. Oh Tuhan...senyum mengambang di bibirku. Bahagia sejuta rasa. Senyum sempurna terukir di wajah Abah. Senyum kebahagiaan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Senyum bangga seorang ayah yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi dengan kemampuannya yang terbatas. Aku ingin menyaksikannya, mencium tangannya, dan memeluknya penuh rasa bahagia dan terima kasih yang tidak terhingga.
“Abah...anakmu sudah sah jadi sarjana...sarjana pendidikan! Siap mengabdi menjadi guru terbaik bagi bangsa ini.” Aku memejamkan mata membayangkan momen terindah itu.
”Hei!! Dengar tidaaak? Mana baju kebayamu? Sudah selesai dijahit? Sudah pas ukurannya? Tidak kesempitan? Tidak kedodoran? Toga itu juga yang kamu urus! Kulihat sudah berapa kali kamu mematut-matut dirimu di cermin dengan topi hitam itu! Senyam-senyum seperti orang sinting aja, tauuuu!!”
Pia menghancurkan lamunan bahagiaku. Sialan!umpatku dalam hati. Aku memberengut kesal.
”Sudah, ah!” tepisnya tidak mau mendengar penjelasanku tentang pertanyaanya. Pia merajuk. Sejak pagi dia memang terlihat kesal dengan kebayanya.
Sahabat karibku itu tidak bertanya lagi lalu memungut kebaya yang dilemparnya ke arahku tadi. Pia memasukkan kebaya itu ke dalam kantung plastik. Tampaknya dia bersiap-siap kembali ke tukang jahit. Mudah-mudahan baju itu dapat diperbaiki, pikirku membatin. Kasihan juga sahabatku itu. Aku hanya bisa tersenyum melepas kepergiannya. Kebayanya kesempitan atau dia yang kegemukan?Entahlah. Aku malas membahasnya. Pia sangat ingin tampil menarik saat wisuda sarjana kami nanti. Lalu, bagaimana dengan kebayaku? Mhmm..sudah aman. Kak Mira mau meminjamkannya untukku. Kak Mira tinggal di kamar kos sebelah dan sekarang sudah bekerja di sebuah bank swasta. Dia sangat baik. Kebaya wisudanya tahun lalu ternyata masih bagus dan bisa kupakai di saat wisuda nanti.
*
Satu hal lagi yang harus kupersiapkan buat acara wisuda nanti adalah kamera foto. Benda yang satu ini seribu kali lebih penting dari sebuah kebaya. Dua hari yang lalu abah menelpon lagi. Pahlawan hidupku itu kembali mengingatkan agar aku tidak melupakan kamera untuk mengabadikan momen berharga di hari wisudaku nanti.
”Abah harus membawa foto-foto wisudamu pulang ke kampung, Anakku. Abah akan tunjukkan ke saudara-saudara kita, ke teman-teman Abah bahwa kamu berhasil jadi sarjana. Kamu akan segera menjadi guru.”
Suara Abah terdengar serak. Sesekali terdengar batuknya padahal Abah tidak merokok. Mudah-mudahan Abah tidak sedang sakit, aku berdoa dalam hati.
”Ya, Abah. Akan Mas siapkan kamera itu. Abah jangan khawatir.” Aku meyakinkan Abah.
”Nanti kita berdua berfoto di depan kampusmu itu ya, bersama kepala kampusmu,” pinta Abah bersemangat. Kepala kampus yang dimaksud Abah adalah Bapak Rektor. Mudah-mudahan Bapak Rektor tidak keberatan berfoto dengan kami nantinya. Aku yakin Abah akan tersenyum puas melihat rektor menyerahkan ijazah padaku dan menyalamiku. Abah pasti bangga ketika protokol menyebut namaku sebagai mahasiswa dengan IPK yang sangat memuaskan!
Ah, Abah. Anak gadismu kini sudah jadi sarjana. Sebentar lagi akan menjadi tenaga pendidik sebagaimana yang kucita-citakan sejak kecil. Rasanya sudah tidak sabar berdiri di depan kelas berhadapan dengan murid-muridku yang bersemangat. Anakmu ini akan membuktikan bahwa anggapan orang kampung kalau anak perempuan itu tak perlu sekolah tinggi akan terpatahkan. Kisah hitam Riana yang tidak sempat jadi sarjana karena hamil di luar nikah akan kucoba menghapusnya dari memori orang kampung kita. Akan kubuktikan bahwa semua itu hanya sebuah musibah dan tidak semua anak perempuan akan mengalami nasib seperti Riana.
Kisah tragis yang dialami Riana merupakan alasan kuat Abah dan Mak melarangku melanjutkan pendidikan ke Pekanbaru, di samping faktor biaya tentunya. Cukup lama aku berdebat dengan Abah sampai pada akhirnya aku bersumpah untuk menyelesaikan kuliahku lebih cepat dari teman-teman seangkatanku. Aku berjanji akan belajar giat untuk menuntaskan semua mata kuliah. Dan aku benar-benar sangat puas karena berhasil membuktikannya. Aku berhasil menjadi sarjana pendidikan tepat pada waktunya dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan lebih dulu dibandingkan teman-teman seangkatanku. Alhamdulillah. Semua karena tekad yang kuat, janji yang tulus dalam ridho Allah dan kedua orang tuaku.
Ijazah itu sebentar lagi ada dalam genggamanku! Aku tidak sabar menunggu hari wisuda sarjana itu tiba dan mengabarkan berita baik. Aku akan buktikan bahwa peluh yang diteteskan abah selama empat tahun ini tidak akan sia-sia. Anak perempuannya sudah jadi sarjana pendidikan. Abah akan bisa membuktikan pada orang-orang yang meragukannya dulu. Abah bisa membuktikan bahwa langkahnya tidak salah membiarkan anak perempuannya merantau menjemput asanya empat tahun yang lalu. Abah pasti akan memajang foto sarjanaku di ruang tamu, kalau perlu tepat di depan pintu masuk biar semua orang tahu kalau aku, anak perempuan Abah telah berhasil jadi sarjana. Ini adalah wujud rasa syukur dan bahagia tentunya dan akan menjadi motivasi bagi orang tua lainnya agar tidak ragu menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan tinggi.
*
Angin lembut sepoi menyejukkan masuk lewat celah-celah kaca nako kamar kosku. Kubaca kembali pesan masuk di hp-ku. Abah mengirim pesan bahwa besok pukul 11.00 siang akan berangkat dengan kapal laut lewat Jambi. Lewat Jambi? Sejenak aku berpikir. Ah, Abah ada-ada saja, mengapa harus lewat jambi? Bukankah bisa lewat Batam atau Tanjung Pinang? Kuperkirakan dua hari lagi Abah sudah sampai di Pekanbaru. Abah sengaja menumpang kapal kayu ke Jambi karena memang ingin.
“Sudah lama tidak naik kapal kayu seperti ini,” katanya.
Memang kapal yang berangkat dari Dabo Singkep ke Tanjung Pinang dan ke Batam berbeda dengan kapal ke Jambi. Kapal ke Jambi masih kapal papan tidak seperti ke Pinang atau Batam sudah dengan speed board. Dari Jambi Abah akan naik mobil travel ke Pekanbaru. Sebentar lagi Abah akan sampai di Pekanbaru. Aku akan menunggunya di terminal. Aku menanti tak sabar.
Abahku adalah pahlawanku. Tanpa Abah aku tidak bisa jadi sarjana! Sarjana pendidikan. Aku menjadi guru!!seperti cita-cita dan harapan Abah tercintaku.!! Aku akan jadi guru. Sesaat lagi!! Hari wisuda tinggal menghitung hari.
*
Jam di dinding kamar kosku sudah menunjuk ke angka 09.25 menit tetapi aku masih malas bangkit dari tempat tidur. Malas sekali rasanya. Pikiranku melayang pada Abah yang sekarang sedang dalam perjalanan. Sudah sampaikah Abah ke Jambi? Aku mencoba menghitung-hitung waktu. Jarak antara Dabo Singkep ke Jambi dengan kapal laut membutuhkan waktu satu hari satu malam. Artinya, abah seharusnya sudah sampai ke Jambi dan mungkin sedang dalam perjalanan menuju Pekanbaru dengan menggunakan mobil travel antarkota. Menurut perkiraanku, Abah akan sampai besok pagi sekitar pukul tujuh pagi.
Aku bangkit dan akan segera mandi ketika sebuah pesan masuk di handphone-ku. Rupanya dari pamanku.
“Masriah, segera pulang ya. Sekarang aja. Cari pesawat. Emakmu, sakit.”
Aku membaca pesan singkat Pak Mok dengan tanya mnggumpal di kepalaku. Detak jantungku tidak beraturan usai membacanya. Debarnya bertambah kencang. Ada apa ini? Terasa begitu tiba-tiba. Emak sakit? Aku harus pulang hari ini?
“Mak? Kenapa dengan Mak? Abah belum sampai di Pekanbaru. Mak sakit apa?” Satu demi satu perntanyaan menghujat otakku untuk segera menjawabnya.
“Haloo…Haloo…Pak Mok..Pak Mok..”
Aku menelpon Pak Mok meminta penjelasan. Pak Mok adalah sapaanku untuk adik Emak yang laik-laki.
“ Ya, Nak. Ini Pak Mok. Kamu baik- baik saja, kan? Bisa pulang hari ini, kan?”
Suara Pak Mok terdengar sangat lembut dan berhati-hati. Adik Emakku itu memang sangat lembut kalua berbicara. Aku mengenalnya sebagai paman yang sangat bijak dan sangat peduli dengan para ponakannya.
“Ya, Pak Mok. Mas sedang menunggu kedatangan Abah. Ada apa dengan Mak?Mak sakit apa? Kambuh asmanya?”
Aku panik bertanya. Pikiranku kacau. Kalau aku pulang, bagaimana dengan Abah? Siapa yang akan menjemputnya di terminal? Aku bingung.
“Sudahlah, Nak . Pokoknya, Mas harus pulang hari ini juga. Emak Mas memang sedang sakit dan beliau ingin Mas pulang hari ini.”
“Tapi, Pak Mok” aku masih bingung harus mengambil keputusan. Bagaimana dengan abah?
“ Sudah ya...pakai saja uang buat ijazah yang dikirim Abah minggu lalu itu untuk membeli tiket pesawat hari ini, ya.”
Pak Mok menutup telepon. Aku terduduk lemas, menangis sejadi-jadinya. Otakku tak bisa berpikir. Bagaimana aku mesti pulang, sedangkan Abah belum sampai di Pekanbaru? Bagaimana Abah nantinya? Kucoba menghubungi Abah. Tuttt..tuttt...tuttt..hp Abah tidak aktif.
“Assalamualaikum. Abah sudah di mana? Abah, Mas harus balik ke Dabo karena diminta oleh Pak Mok. Katanya, Mak sedang dakit dan berharap Mas pulang segra hari ini. Nanti Abah dijemput sama Bang Ipan ya. “
Kuputukan mengirim pesan saja agar nanti Abah bisa membacanya. Biar bang Ipan saja nanti yang menjemput Abah di terminal. Aku juga sudah mengirim pesan padanya. Untung saja dia sedang berada di Pekanbaru dan bersedia menjemput Abah dan mencarikan penginapan untuk sementara.
Aku segera ke agen tiket pesawat terdekat untuk memesan tiket, berharap masih ada pesawat yang akan berangkat hari ini. Alhamdulillah, pesawat berangkat pukul 12.30. Aku masih punya waktu satu jam untuk ke bandara. Segera kucari taksi untuk mengantarku ke Bandara Sultan Syarif Qasim II.
Tak henti aku berdoa semoga Mak tidak apa-apa. Mak memang menderita asma akut. Penyakit turunan yang diturunkan oleh kakekku. Penyakit yang selalu berurusan dengan nafas ini memang sangat mengkhawatirkan. Aku selalu tidak tega bila melihat Mak sedang kambuh asmanya. Susah sekali bernafas. Sesak dan terengah-engah. Aku bersyukur tidak menerima turunan penyakit itu. Asma yang diderita Emak memang suka datang tiba-tiba dan sudah terbiasa. Nafasnya akan segera normal kalau sudah minum obat, tapi mengapa kali ini sampai meminta aku pulang? Pikiran berkecamuk di otakku. Batinku sungguh tak tenang. Kulihat supir taksi memperhatikanku, mungkin dia heran mengapa sekali-sekali aku menarik nafas dalam-dalam. Aku menepis pikiran buruk yang tiba-tiba menyelinap.
“Mau kemana, Dek?”
Pak Supir membuyarkan lamunanku. Aku agak kaget karena mobil tiba-tiba berhenti. Ternyata sedang di lampu merah.
“Pulang kampung, Pak. Ke Dabo Singkep,” jawabku sambil memandangnya lewat kaca sepion. Seorang penjaja koran menawarkan dagangannya. Aku menyerahkan uang Rp 5000,00 dan mengambil sebuah harian.
Lampu hijau telah menyala dan Pak Supir kembali menjalankan taksi dengan tenang. Namun, hatiku tidak setenang Pak Supir. Dadaku bergemuruh. Jantungku berdegup kencang. Mataku tidak berkedip memandang tulisan besar-besar di halaman depan koran di pangkuanku. “Kapal Tanama Raya tenggelam di Selat Berhala dari Dabo Singkep menuju Jambi sekitar pikul 11 pagi.”
Kubaca cepat-cepat berita surat kabar itu. Dikatakan bahwa ada beberapa orang saja yang selamat tapi belum diketahui nama-namanya. Aku terhenyak. Mungkinkah Abah menumpang kapal kayu itu? Setahuku kapal dari Dabo ke Jambi hanya satu-satunya. Ya Allah...aku seperti menangkap pesan tersirat. Reflek kuambil hp di dalam tas dan menghubungi Pak Mok kembali.
“Hallo....Pak Mok?...Hallo....” Hp Pak Mok tidak diangkat. Aku terus mengulanginya.
“Tuuuttt..tuttttt....tuutttt....” Masih tidak diangkat. Kepalaku mendadak pusing. Air mata mulai mengalir di sudut mataku. Bermacam pikiran berkecamuk tak jelas. Aku mencoba menghalau pikiran negatif yang hinggap liar di kepalaku.
“Sudah sampai, Dek.”
Supir taksi membuyarkan pikiran burukku.
“Terima kasih, Pak.”
Aku membayar ongkos taksi dan segera berlari menuju pintu check in.
Di ruang tunggu kulihat orang-orang berkerumun membicarakan musibah kapal laut yang tenggelam itu. Aku mencoba menghubungi nomor Pak Mok kembali.
“Ya..Nak. Kamu sudah di bandara? Udah dapat tiket?” Pak Mok bersuara di seberang sana.
“Sudah, Pak Mok, tapi pesawatnya ke Tanjung Pinang dulu karena tidak ada yang langsung ke Dabo hari ini.” Jelasku.
“Oh iya. Tidak apa-apa. Nanti dari Tanjung Pinang ke Dabo naik kapal saja bersama adikmu, Yon. Dia juga harus pulang.” Ternyata adikku yang di Tanjung Pinang juga diminta pulang. Ya Allah. Ada apa ini?
“Pak, Mok…ada apa sebenarnya? Mak yang sakit….atau Abah…..?” Aku tidak sanggup meneruskan kata-kataku. Kepalaku tiba-tiba berdenyut-denyut, berat seperti tertimpa batu besar.
“Sabar, ya Nak…kita hanya bisa berencana…tapi semuanya Allah yang berkehendak…Pulanglah cepat...adik-adik dan saudara-saudara menunggumu..”
Pak Mok menjawab tanyaku tersendat-sendat. Aku lunglai terduduk di kursi ruang tunggu yang semakin ramai. Aku tak sabar ingin segera berangkat dan ingin segera tiba di rumah. Pikiranku menduga-duga, mengira-ngira, menebak-nebak. Aku tidak berharap apa yang kupikirkan menjadi kenyataan. Semua hal yang buruk menguasai pikiranku, Ya Allah.
TIDAK!! JANGAN YAA ALLAH. Abah harus sampai ke Pekanbaru. Abah harus menyaksikan wisuda sarjanaku!! Aku menangis. Meraung histeris. Tak peduli dengan tatapan berpuluh pasang mata melihatku di ruang tunggu ini. Mataku berkunang-kunang. Semua orang seperti berputar-putar mengelilingiku. Mereka menatapku dengan tatapan heran, perihatin. Kasihan, dan entah apa lagi yang mereka pikirkan tentangku. Ada yang mencoba merangkulku, berusaha menenangkan diriku. Aku menumpahkan tangis yang tak kuat kubendung. Aku melihat Abah ada di antara orang-orang itu.
Aku melihat Abah berusaha keluar dari kerumunan dan melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku melihat Abah ingin memelukku. Abah merentangkan kedua lengannya padaku. Aku berusaha bangkit dan tegak berdiri, tatapi kakiku seakan lumpuh tak bergerak. Lidahku kelu untuk memanggil Abah supaya mendekat. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan. Mengapa suaraku tiba-tiba lenyap. Lidahku kaku. Kerongkongan mengering tiba-tiba. Kakiku lumpuh tak bergerak. Kulihat Abah masih saja menyeruak dari keramaian berusaha menghampiriku…di tangannya…yaa Allah….di tangannya. Topi itu…Jemari tuanya erat memegang sebuah topi…topi hitam dengan tali merah berjuntai-juntai dan melambai-lambai ditiup angin….Abah terus berjalan menghampiriku tatapi mengapa tidak bisa mendekat? Bahkan semakin jauh….jauh...dan semakin menjauh?…..aku berteriak memanggilnya tetapi Abah semakin jauh. Abah berjalan pelan, menjauh dariku yang terkulai di lantai. Ayah menatapku dalam diam, lalu berjalan pelan menuju satu titik putih yang semakin mengabur dalam pandanganku dan topi hitam bertali merah itu masih di tangannya.
( “Allahummaghfir Lahu Warhamhu Wa 'Aafihi Aa'fu 'anhu Wa Akrim Nuzulahu Wa Wassi' Madkhalahu, Waghsilhu Bil Maa i Wats-tsalji Walbarodi Wa Naqqihii Minal khathaa Ya Kamaa Yunaqqats-Tsawbul Abyadhu Minad Danas...aamiin)
Komentar
Posting Komentar