BU GURU MIRA


 

Bu Guru Mira

(Penulis Mas Sitti Sya)


Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia. Semua siswa terlihat sangat senang dan antusias. Mereka senang  sekali karena berharap Bu Mira akan membawa kejutan lagi. Guru bahasa Indonesia ini selalu melakukan sesuatu yang tidak diduga-duga sebelumnya. Ada-ada saja yang dilakukannya pada saat belajar. Minggu lalu Bu Mira mengejutkan dengan aksi baca puisinya. Tiba-tiba saja, guru yang berkaca mata plus  ini berdiri tegak di pintu kelas sambil membacakan sebuah puisi karya Chairil Anwar pelopor angkatan 45 itu. Tentu saja semua siswa yang sedang asyik ngobrol bersama teman-teman di dalam kelas itu terperangah sesaat. Seperti dikomando semua siswa pun tertib kembali dan duduk manis sambil mendengarkan Bu Mira membacakan puisi berjudul “Aku” dengan penuh ekspresif itu. Para siswa seakan terhipnotis dengan aksinya. Bu Mira memang punya sejuta kiat agar proses pembelajaran menjadi menarik dan tidak membosankan siswanya. Beliau tidak lupa meminta beberapa orang dari kami untuk membacakan puisi ke depan kelas. Enny dan Eddy paling sering menunjuk tangan untuk diizinkan menampilkan kebolehannya dalam membacakan puisi. Arini juga tidak mau kalah. Sejak tadi dia duduk di belakang menyaksikan Mira mengajar. Sebelumnya dia sudah minta izin untuk berada dalam kelas. Arini ingin menimba pengalaman karena sebentar lagi dia pun akan menjadi guru. Banyak hal yang harus dipelajaarinya dari Mira. Banyak pengalaman yang harus ditimbanya pada Mira. Arini ingin menjadi guru yang baik, disenangi siswa dan kreatif dalam melaksanakan proes pembelajaran di kelas. Semua itu ingin digalinya dari pengalaman Mira yang lebih dulu menjadi guru.

 Arini memilih satu puisi yang ada di buku pelajaran bahasa Indonesia. Dia membacanya dengan sangat ekspresif dan dengan suara lantang penuh penghayatan. Mira dan para siswa bertepuk tangan memberi aplus padanya. Arini tersipu bahagia menerima penghargaan serupa itu. Mira meminta beberapa siswa membacakan puisi dan ternyata mereka menjadi sangat berani  dan termotivasi karena telah menyaksikan aksi baca puisi Arini. Mira mengangkat dua jempol tangannya ke arah Arini sebagai ungkapan terima kasih karena telah ikut membantu memancing motivasi anak-anak pada pembelajaran kali ini.

“Bagus sekali Ayang...kamu sangat berbakat...minggu depan, kamu, Eddy, dan Enny akan ibu ikutkan pada lomba membaca puisi tingkat SD.” Mira menyalami ketiga anak itu usai menyaksikan pembacaan puisi ketiganya.

Para siswa sangat mencintai Ibu guru yang satu ini. Selain cara mengajarnya yang disukai, Bu Mira selalu menjadi pendengar yang baik layaknya guru konseling bagi siswanya. Sebuah kalung emas putih dengan liontin berinisial huruf H selalu melingkar di lehernya. Arini pernah menanyakan peihal huruf “H” yang selalu menghiasi leher jenjangnya itu. Arini menduga pastilah sangat special. Mungkinkah itu inisial nama kekasih Mira? Arini membatin.  Setiap ditanya tentang hal itu, Mira selalu menjawabnya dengan senyuman. Gadis itu agak tertutup. Tak banyak yang Arini tahu tentang Mira meski mereka sangat dekat.

Mira selalu berusaha menciptakan suasana belajar menjadi lebih manarik dan menyenangkan. Kegiatan belajar jadi tidak membosankan. Pagi ini misalnya,

“Selamat siang anak-anak...” Mira menyapa ceria seperti hari-hari sebelumnya. Seperti biasa, senyum selalu tersungging di bibirnya. Para siswa menebak-nebak. Apalagi kejutannya pagi ini?

“Siap belajar bahasa Indonesia lagi hari ini?Bu Mira menyapu pandangannya ke seluruh siswa.

“Siap, Ibuuuu,” jawab para siswa serentak.

“Baiklah, dengarkan baik-baik...Ibu akan berpantun.”

“Di jalan raya haruslah berhati-hati

Bila lalai kita akan celaka

Bila ingin jadi anak yang berbakti

Ingatlah selalu pesan orang tua”

 

Ariel Piterpen seorang biduan

Dia juga bisa bermain gitar

Buku itu sumber pengetahuan

Rajinlah membaca supaya pintar...

Semua siswa bertepuk tangan setelah Bu Mira mengakhiri pantunnya.

“Sekarang kita akan menulis pantun. Kalian pasti bisa!” Bu Mira menghampiri kami satu persatu.

“Susah, Buuuuu...bagaimana caranya?” Umar mulai mengeluh.

“Ah, gampang. Ibu punya cara menulis pantun yang asyik.” Mira memperkenalkan sebuah metode belajar menulis pantun kepada anak didiknya. Dia menyebutnya dengan metode PABER  atau Pantun Berantai. Caranya sangat mudah dan mengasyikan. Semua siswa menulis bait-bait pantun itu dengan cara berantai dari satu siswa kepada siswa yang lain. Siswa yang satu membuat sampirannya (baris pertama dan kedua), siswa lainnya melanjutkan membuat isinya (baris ketiga dan keempat). Begitu seterusnya sampai tercipta beberapa bait pantun. Para siswa terlihat antusias dan bersemangat. Mereka terlihat benar-benar menikmati belajar menulis pantun hari ini. Mira terlihat puas membaca pantun hasil krya anak-anak didiknya.

“Mari , anak-anak kita pajang pantun hasil karya kalian ini di majalah dinding kelas kita.”

Mira mengajak para siswa menempelkan pantun-pantun itu di majalah dinding (mading) kelas. Madding kelas Bahasa Indonesia selalu penuh dengan hasil karya para siswa. Ada puisi, ada cerita, ada teki-teki silang, dan sekarang ada pantun juga.

          Begitulah Mira, seorang guru yang total mengabdikan dirinya untuk bangsa ini.  Sosok seperti ini tidak banyak yang bisa kita temukan di saat ini. Guru yang berusia 26 tahun itu bahkan tidak sempat memikirkan kebutuhan pribadinya. Seharusnya, wanita seusia dirinya sudah memiliki suami dan anak-anak. Tetapi, perempuan itu sama sekali tidak tertarik untuk menjalani hidup bekeluarga. Arini tidak melihat ada orang lain yang mengunjunginya. Guru yang ramah dan supel itu hanya tinggal sendiri saja di rumahnya. Sesekali memang terlihat ada sepasang suami istri yang berkunjung ke rumahnya, mungkin adiknya. Mira sangat tertutup dan tidak pernah mau berlama-lama duduk-duduk sambil bercerita dengan para tetangganya. Mira lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah  dan di sekolah.

          Tetapi, sudah dua hari ini kampung ini dihebohkan dengan menghilangnya sosok guru yang baik hati itu. Sudah dua hari perempuan itu tidak terlihat. Tidak di rumahnya dan tidak juga di sekolah. Seisi kampung sudah mencarinya kemana-mana namun Mira lenyap tak berbekas. Ketua RT sudah melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian, tetapi polisi juga belum berhasil menemukannya.  Kemanakah perginya Mira? Semua warga terheran-heran dan tidak habis piker. Ada yang mengatakan bahwa Mira diambil orang bunian dan diajak tinggal di alam yang berbeda. Ada juga yang mengatakan bahwa Mira telah diculik, bahkan ada yang menduga Mira sudah menjadi mayat karena dibunuh oleh seseorang.

          Hari ini adalah hari ketiga, kabar Mira belum juga ada. Polisi telah mengobok-obok rumahnya. Arini pun sudah menghubungi ibunya agar member tahu  ibu Mira tentang berita hilangnya gadis itu. Polisi berusaha untuk mencari petunjuk tetapi nihil. Tak satu pun tanda-tanda yang bisa membantu polisi untuk menemukan jejak Mira. Di luar rumah, murid-murid Mira bertangisan. Mereka sangat khawatir dengan nasib guru mereka tersebut. Mereka tidak ingin kehilangan sosok yang selalu mengajajar dan mendampingi mereka. Beberapa ibu dengan sabar meembujuk anak-anak mereka untuk tidak menangis dan mengajak mereka berdoa agar Bu guru Mira cepat ditemukan.

***

Sudah tujuh hari Mira menghilang. Pencarian oleh pihak yang berwajib sudah dihentikan. Semua warga sudah pasrah dan menyerah. Mira tidak diketahui lagi kemana rimbanya. Anak-anak muridnya tampak tidak bersemangat. Mereka terlihat malas belajar. Guru pengganti merasa kewalahan memotivasi mereka.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari ujung jalan. Pak Sakir, pencari rumput itu berlari sambil berteriak.

 “Mayat…mayat…ada mayat…”.

Lelaki renta itu berteriak histeris. Wajahnya menggambarkan kepanikan. Tangannya menunjuk-nunjuk ke satu arah…

“Di sana…di rawa-rawa…ada mayat……ada mayat wanita…sudah membusuk…”

Pak Sakir tumbang dan pingsan. Lelaki itu sock rupanya. Beberapa warga menghambur berlarian menuju tempat yang dimaksud Pak Sakir. Arini dan beberapa orang juga mengikuti arah itu.

“Astagfirullah…!!”

Terdengar seruan seorang ibu. Beberapa warga yang sudah mendekat ke sumber itu Nampak menutup hidung mereka karena tidak tahan dengan bau yang menyengat.. Arini mendekat  dan menyaksikan sesosok tubuh wanita yang sudah membusuk dikerumuni belatung. Di lehernya masih melingkar kalung berliontin huruf “H”. tidak salah lagi, Arini sock berteriak histeris dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

***

          Tidak ada matahari sore ini.langit gelap dan hujan pun tak berhenti. Wangi bunga rampai di pusara itu masih segar dan menebarkan aroma duka. Rombongan pengantar jenazah sudah kembali pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Arini dan para siswa yang  terisak dalam diam. Arini yakin sepenggal doa untuk Bu guru tercinta ini menggema di sanubari masing-masing dan berharap Tuhan mengampuni semua dosa-dosanya.

“Semoga tenang di sana, Bu....surgalah tempatmu berada. Kami sangat merindukanmu.” suara lirih para siswa terdengar sendu.

          Hujan semakin deras. Arini dan para siswa beranjak pelan menuju pulang. Dari kejauhan terdengar suara guruh bersahutan petanda hujan akan semakin lebat dan petang pun berangkat malam. Tiba-tiba handphonenya bergetar. Sebuah pesan singkat tampak di layar poncel-nya. Dan...pesan itu....pesan itu dari Mira...”Suatu saat kamu akan menemukan jawaban tentang huruf ”H” yang selalu kupakai ini, Arini. Suatu saat kakak ingin memberikannya kepadamu”.  Jantung Arini seakan berhenti berdetak. Kenapa baru sekarang pesan itu tiba? Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Apakah ada kesalahan? Arini merinding. Selintas pikiran aneh mengganggu batinnya, tetapi berusaha ditepisnya. Teringat pertemuan terakhir sebelum Mira menghilang. Saat itu mereka sedang berbincang-bincang di kamar Mira dan Arini kembali menanyakan tentang leontin kalung berinisial huruh “H” di lehernya. Dia berjanji suatu ketika akan menceritakannya pada Arini. Spontan Arini membalikkan badannya dan melihat ke arah pusara. Di sana, pusara itu masih basah tertimpa rintik hujan yang mulai lebat. Aroma bunga rampai yang di atas pusara basah itu tercium terbawa angin. Arini membalikkan badannya kembali dan melanjutkan langkah menuju pulang. Kalung dengan liontin berinisial huruf “H” itu masih tergenggam di tangannya.

Komentar

Postingan Populer