CINTA DELLIA

 


Cinta Dellia

(Penulis: Mas Sitti Sya)

 

Dingin mulai menyentuh pori-pori. Semilir angin dan kecipak riak ombak terlihat begitu tenang. Bening mentari tiba-tiba tesaput awan gelap. Rintik-rintik itu seperti akan turun membasahi bumi. Resah mulai menggeliat, menendang-nendang dinding hatinya. Pesan itu belum juga hadir hingga sore ini. Entah apa gerangan yang terjadi hingga tak satu pesan pun yang dibalas meskipun lelaki itu membacanya.

“Tuhan..kuingin Kau sempurnakan hari ini dengan mengembalikan sinar mentari itu seperti adanya semula.”

Dellia menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku kayu di bawah pohon Ru. Angin pantai berhembus lembut menyentuh kulit coklatnya. Sore ini Dellia sengaja memakai jilbab biru muda pemberian Ikhsan pada pertemuan terakhir mereka. Dipadu dengan blus bewarna senada bermotif bunga sakura, gadis itu terlihat anggun. Sesekali ujung jilbabnya dimainkan angin hingga menampakkan helai-hilai anak rambut di poninya. Dellia tidak memperdulikannya. Direbahkannya belakang kepalanya pada sandaran bangku. Dipejamkannya matanya menikmati semilir angin dan aroma pantai kenangan ini. Di sini, di pantai ini cerita itu bermula. Dia memasang handset di telinganya. Bait syair Kasih Jangan Kau Pergi persembahan Yura telah mengembalikan memorinya.

“Aku harus pergi, Lia. Tidak bisa tidak karena dengan cara ini aku bisa mengubah hidupku.”

Ikhsan mencoba megakinkan Dellia dengan argumentasinya.

“Tapi, kamu bisa lakukan di sini, kan? Rezeki itu ada di mana saja, San. Mengapa harus ke Jakarta?”

Bulir-bulir bening itu sudah mengambang di kelopak matanya. Sekali saja dia mrngerjapkan matanya maka berderailah airmatanya membasahi pipinya yang cubby itu.

“Dellia sayang. Kamu jangan kawatir. Semua akan baik-baik saja. Kita bisa berkomunikasi dengan lancar. Bisa telpon dan vicol juga.”

Ikhsan kembali meyakinkan kekasihnya. Kedua tangannya yang kekar merengkuh kedua bahu Dellia. Tatapan matanya menghunjam tajam tepat di mata hitam Dellia. Kesungguhan yang tak terbantahkan terpancar di sorot matanya. Dellia benar-benar menangis. Bulir-bulir bening itu membasahi pipinya. Gadis itu membisu, tak lagi berusaha membantah. Dia tergugu sendu di bangku kayu di bawah pohon Ru saksi cinta mereka. Ikhsan menggenggam jemarinya tanpa kata-kata. Namun, Dellia merasakan apa yang tidak terucap dari bibir lelaki terkasihnya saat itu. Ikhsan memang keras hati dan sangat percaya diri dengan keinginannya. Apa yang sudah diyakininya tidak akan tergoyahkan.

“Semua ini untuk kita, Lia. Suatu saat aku akan kembali ke sini untuk melamarmu. Tunggu aku..”

Ikhsan meyakinkan gadisnya sebelum pamit pada pertemuan terakhir mereka. Dellia hanya terdiam dalam tangisnya.

Angin pantai masih berhembus lembut memainkan ujung jilbab Dellia. Dellia memyentuh tombol off di file.musik hp-nya. Gerimis mulai turun menjemput senja tiba.

“Ikhsan….” Suaranya lirih tak terdengar.  Dellia menghapus sisa air mata rindu yang tersisa di sudut matanya. Hujan semakin deras mngguyur tubuhnya. Perlahan gadis itu beranjak meninggalkan bangku kayu di bawah pohon Ru. Sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya juga bangkit dari duduknya.

*

Beberapa remaja mesjid masih khusuk belajar mengaji di bawah bimbingan Andika. Masih terdengar suara merdu mendayu kelompok remaja putri menyenandungkan ayat-ayat Allah. Beberapa remaja putra duduk bersila di sudut kanan. Terlihat sangat serius mendengarkan tausyiah Ustad Usman. Minggu depan peringatan maulid nabi Muhammad SAW akan dirayakan dengan berbagai acara lomba seperti  membaca ayat-ayat pendek jus amma, berdakwah, dan sholawat nabi. Semua remaja mesjid ini sedang sibuk mempersiapkan diri. Dellia sebagai salah satu senior di mesjid itu bertugas menghubungi para undangan yang diharapkan hadir. Selain itu gadis itu terlihat sibuk mendata nama-nama peserta sesuai dengan sublomba. Dia tidak menyadari bahwa sejak tadi sepasang mata sesekali mencuri pandang ke arahnya. Dua orang remaja putri menghampirinya dan meminta berkas yang ada padanya untuk direkap. Dellia menghela nafas lega. Semua sudah selesai. Pendaftaran baru saja ditutup sesuai dengan informasi yang sudah disebarluaskan ke publik. Dia bersiap-siap akan pulang dan menggamit tas sandang yang terbuat dari perpaduan benang rajutan bewarna marun dan hitam. Tas itu dia sendiri yang merajutnya di sela-sela waktu kosongnya. Enam bulan setelah diwisuda terasa sangat lama tanpa aktivtas. Dia sudah mengirimkan lamaran ke beberapa kantor tapi belum rezeki. Menyibukkan diri bergabung dengan adik-adik remaja mesjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya merupakan pilihan yang tepat. Kegundahan hatinya terhadap Ikhsan yang tidak berkabar berita juga agak berkurang bila sedang berkumpul di mesjid bersama mereka. Keceriaan akan tampak di wajah gadis itu. Dan semua itu tidak luput dari perhatian dan pengamatan Andika, sahabat kecilnya yang baru saja menjadi pegawai tetap di sebuah BUMN di kota ini. Mengajar anak-anak mengaji di mesjid merupakan kebiasaan yang Andika lakukan sejak mereka masih SMA dan kuliah. Mereka memang selalu bersama sejak SMA bahkan sampai di perguruan tinggi pun mereka memilih kampus yang sama meskipun berbeda fakultas. Hubungan mereka cukup dekat karena jarak rumah pun tidak terlalu jauh dan searah. Masa SMA selalu mereka lewati bersama dalam segala kegiatan.

“Mau pulang?”

Tiba-tiba Andika sudah sejajar di sampingnya. Delia sedikit kaget dan mengangguk tersenyum seperti biasa bila mereka bertemu.

“Belum ada panggilan kerja?”

Andika kembali berbasa-basi. Keduanya beriringan berjalan kaki menyusuri trotoar searah jalan menuju rumah Dellia.

“Belum. Insya Allah secepatnya. Mohon doanya, ya.”

Suara Dellia terdengar sumbang meski bibirnya tersenyum. Andika memandangnya sekilas. Lelaki 25 tahun itu memperbaiki letak pecinya dan kembali mengajak Dellia bicara ringan.

“Ngebakso, Yuk. Enak nih, sehabis hujan makan yang panas-panas. Kamu lagi flu juga, kan? Bersin-bersin terus.”

Dellia mengangkat wajahnya yang sejak tadi merunduk diam. Dia agak heran juga ternyata Andika tau kalau dia sedang  flu. Kemarin dia x memang kehujanan ketika pulang dari tepi pantai sehingga agak sedikit meriang dan bersin-bersin. Andika memang sudah sangat paham kebiasaan sahabatnya ini bila flunya kumat.  Makan yang panas-panas adalah obat dan solusinya.

“Yuk.”

Andika tidak menunggu persetujuan lagi, lalu menggamit lengan Dellia dan membawanya menyeberang menuju gerobak bakso di bawah pohon mahoni yang rindang. Tidak sempat menolak dan bersuara. Dellia mengikuti saja langkah Andika menyeberangi jalan raya beraspal yang cukup lebar itu. Jemari Andika kuat menggenggam jemarinya seolah takut terlepas. Beberapa kendaraan melaju kencang. Mereka memang tidak melewati zebra cross sehingga harus super hati-hati. Tangan kiri Andika menggenggam erat jemari Dellia sedangkan yang kanan memberi aba-aba agar kendaraan yang lewat memberi peluang bagi mereka agar bisa menyeberang dengan selamat. Dellia merasa ada arus yang mengalir dan bergetar di sela-sela jemarinya. Debar di hatinya juga terasa tak biasa. Mereka sudah sampai di tenda bakso dengan masih bergenggaman tangan. Dellia cepat menyadari itu dan spontan melepaskannya. Sesaat Andika menatapnya. Mereka saling pandang dalam diam lalu memilih tempat duduk paling sudut menghadap ke jalan. Suasana tiba-tiba kaku. Rasanya memang sudah lama sekalo mereka tidak makan bakso berdua seperti ini. Masa itu sudah lama lewat dan banyak cerita yang sudah terjadi sebelum hari ini. Dellia malas mengingatnya karena sebanyak kisah yang ada hanya satu yang membekas di hatinya tentang pemuda 25 tahun yang sekarang di hadapannya. Dellia memilih untuk berdiam saja daripada harus membuka lembaran usang itu.

Sepuluh menit berlalu tanpa suara. Pesanan bakso mereka juga belum datang. Andika menatap gadis berhijab di hadapannya dengan tatapan lembut. Dellia tidak memperdulikannya. Gadis itu seakan asyik dengan androidnya meskipun sebenarnya dia menutupi kegelisahan hati yang tiba-tiba hadir malam ini. Daun-daun mahoni bergesek lembut disentuh angin malam. Sehelai daun keringnya jatuh tepat di hadapan mereka. Karena kaget Dellia spontan mengambil daun itu. Ternyata di saat yang sama Andika juga menggerakkan tangannya menyentuh daun itu. Jemari mereka kembali bersentuhan dan debar itu semakin nyata seiring mata yang saling tatap meskipun hanya sesaat karena Mas Joni sudah berdiri di pinggir meja dengan dua mangkok bakso yang siap disantap.

*

Temaram warna jingga di langit memantul indah di air laut. Sejauh mata memandang lazuardi terbentang. Beberapa ekor burung terlihat sangat kecil beterbangan di atas pernak-pernik air laut menjelang fajar seumpama mutiara dari surgawi. Sangat indah dan memesona mata. Bendang jingga keemasan memberi kesan magis namun romantis. Sejak habis subuh tadi Dellia sudah duduk diam di bangku kayu di bawah pohon Ru. Tempat favoritnya. Sama seperti beberapa hari yang lalu. Dengan punggung bersandar di batang Ru, gadis itu menatap jauh ke tengah laut yang semakin memudar sapuan jingganya.  Pagi tiba dan sedang beranjak menuju siang yang benderang . Beberapa penjala ikan bertelanjang kaki menyusuri tepi pantai. Jala yang basah sengaja disangkutnya di bahu kanan, sedangkan sebuah tas pelastik bertali rapia menggantung di bahu kirinya. Terlihat sedikit menggembung di setengah bagian bawahnya. Agaknya dia sudah cukup puas dengan hasil tangkapan  sepertiga malam hingga dini hari tadi. Ikan-ikan ukuran kecil dapat dimasak untuk persediaan lauk makan hari ini, sedangkan ikan-ikan yang agak besar bisa dijual ke tetangga. Lumayan untuk membeli sembako lainnya seperti beras, gula, kopi dll.

Dellia menghela nafas. Sesaat ingatannya berhasil menjauh dari bayang-bayang Ikhsan ketika mengamati penjala ikan yang semakin jauh meninggalkan bibir pantai menuju pulang.

Sudah lewat empat bulan Ikhsan menghilang tak berkabar berita. Nomor satu-satunya yang dimiliki Dellia sudah tak aktif lagi. WA, Line, BB sudah tak bisa lagi dihubungi. Berkali-kali Dellia menelpon selalu dengan nada yang sama. Nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau tidak aktif. Selalu saja suara itu yang terdengar. Ada kecemasan di hati Dellia kalau-kalau handphone Ikhsan hilang sehingga tidak bisa menghubunginya. Tentu saja semua kontak ikut hilang. Dellia mencoba berdamai dengan hatinya, berusaha untuk berbaik sangka dan masih terus berharap Ikhsan menghubunginya walau entah bila.

Dellia merapatkan jaketnya dan bangkit meninggalkan bangku kayu. Dia berjalan pelan menuju bibir pantai yang sedang surut airnya. Udara pagi masih sangat segar dengan aroma asin air laut menusuk hidung. Dellia berjalan menyusuri pantai dengan bertelanjang kaki. Sesekali gelombang kecil menyentuh kakinya yang putih. Gadis itu membiarkan kakinya basah. Hal serupa ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Batu-batu kecil yang terinjak kakinya seolah terapi alam yang menimbulkan sensasi masa kecil yang tak mudah terlupakan. Kerikil-kerikil putih bersih yang suka dia dan ikhsan kumpulkan pada saat mereka masih di SD. Entah untuk apa waktu itu  yang pasti beberapa kerikil yang sama besarnya digunakan untuk bermain dengan menggunakan bola kasti sebagai pasangannya. Bahkan, nama permainan ini pun, Dellia lupa.

“Dellia, tunggu!”

Panggilan itu membuyarkan lamunan Dellia tentang masa kecilnya. Andika sudah menyejajarkan langkahnya di sisi kanannya.

“Sendiri aja?”

“mhmghh…” Dellia mengangguk mengiyakan.

“Kita ke sana, yuk. Aku akan tunjukkan sesuatu padamu. Kamu pasti suka.”

Dellia kembali mengangguk dan mengikuti saja langkah Andika memasuki laut agak ke tengah. Karena laut sedang surut, airnya hanya sebatas mata kaki dan separuh betis.

Dellia dan Andika mengarungi air yang dangkal. Mereka agak berjalan pelan krn harus melewati beberapa batu karang yang licin ketika diinjak.

“Lihat itu!”

Tiba-tiba Andika berseru dan mengagetkan. Dellia hampir jatuh dan terhuyung. Untung saja dengan sigap Andika menopang tubuhnya dan merangkulnya sebelum dia kecebur dan basah. Reflek kedua tangan Dellia juga berpaut dan memeluk lelaki penyuka basket itu. Sesaat keduanya terdiam tanpa kata. Desir halus itu menjalar dengan cepat ke sela-sela sendi, urat dan darah keduanya. Dellia masih dalam dekapan panik Andika. Keduanya sama-sama gugup dan salah tingkah. Semu merah merona di pipi cabby Dellia. Ikhsan menyaksikannya terpesona.

“Oh maa..maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu, Lia.”

Andika perlahan melepaskan rangkulannya. Dellia hanya bisa terdiam mengatur debar aneh yang semakin terasa desirnya. Entah irama apa yang sedang bersenandung di hatinya pagi ini. Mentari semakin meninggi membawa terang pada pagi.

“Ini yang kumaksud, Lia.”

Andika menunjuk sebuah kolam karang yang tidak begitu besar. Kira-kira berjarak tiga meter dari tempat mereka berdiri. Kolam yang terbentuk dengan sendirinya oleh alam. Dellia mengikuti langkah Andika berjalan pelan berjingkat menghindari batu-batu licin hingga sampai pada kolam karang itu.

“Waw!! Cantik. Koq bisa seperti ini?”

Dellia berseru kagum ketika mengyaksikan biota laut yang terdapat di kolam itu. Ikan warna warni berenang bebas di sela-sela terumbu karang yang melambai-lambai gemulai. Siput-siput kecil nampak bergerak lambat di dasar kolam. Air yang jernih memperlihatkan semua yang ada di dalamnya. Kepiting dan udang-udang kecil juga tampak bercanda gurau, bermain, dan sembunyi di balik batu. Ubur-ubur juga terlihat ada beberapa di dalamnya. Sungguh indah memesona seolah sengaja dibuat oleh manusia. Debar di hatinya sudah mulai reda meski masih terasa.

“Kolam ini selalu ada dengan sendirinya ketika air laut surut. Terkadang bila beruntung kita bisa melihat beberapa bintang laut juga ada di dalamnya.”

Ikhsan menjelaskan. Senyum bahagia terkagum-kagum mekar di wajah Dellia. Ikhsan belum pernah melihat Dellia tersenyum sumringah seperti pagi ini. Lelaki itu bersyukur dalam hati.

“Yuk, balik. Bentar lagi waktunya Dhuha, kan?”

Dellia mengangguk dan mereka berdua kembali menyusuri pantai menuju pulang. Diam tanpa suara. Andika melirik ke samping kirinya menatap gadis berjaket yang akhir-akhir ini selalu dalam pikirannya. Merasa dipandangi, Dellia mengangkat wajahnya. Dia tersenyum tipis. Sesaat tatapan mereka beradu walau akhirnya kembali membisu. Andika mengerjapkan matanya ke arah Dellia. Gadis itu tersipu. Keduanya mempercepat langkah menuju pulang. Mentari pagi sudah sepertiga langit. Angin sepoi memainkan ujung jilbab Dellia.  Andika menghela nafas ringan. Entah gerangan apa yang ada dipikirkan pemuda itu.

*

Malam pembagian hadiah dalam perlombaan yang dilaksanakan minggu lalu  hampir selesai.  Tepuk sorak tangan para pengunjung terdengar bergemuruh diiringi teriakan para remaja pemenang lomba yang dibacakan ketua dewan juri. Beberapa remaja putri hilir mudik di samping pentas menyiapkan tropi dan bingkisan yang akan diberikan kepada pemenang. Andika sebagai ketua pelaksana diminta menyerahkan piagam penghargaan. Cowok itu terlihat sangat berwibawa dan simpatik.  Senyum ramahnya menghiasi bibirnya yang dihiasi kumis tipis di atasnya.  Dia tidak merokok sehingga bibirnya tidak tampak hitam meskipun tidak tergolong merah. Malam ini dia mengenakan setelan kain sarung bermotif kotak-kotak yang senada dengan baju kokonya yang berwarna coklat terang. Gerak-geriknya tak lepas dari perhatian Dellia yang sejak tadi duduk diam di kursi sudut kiri agak ke belakang. Gadis itu sengaja memilih posisi duduk yang tidak begitu terang. Cahaya lampu jalan cukup menerangi keberadaannya bersama beberapa remaja putri lainnya.

“Ehmm… Sedang memperhatikan ketua pelaksana kita, nih ya?”

Santi tiba-tiba memecah kebisuan. Suaranya memang tak begitu keras, tapi cukup membuat Dellia menoleh ke samping karena merasa pertanyaan itu ditujukan padanya.

“Eh.. Ti.. Tidak kok,  San. “jawabnya salah tingkah.

“Cie… Cieee… Gak usah pakai gugup gitu,  dong.  Biasa aja. Hahaa.. “

Santi menimpuk bahu Dellia dengan tangannya.  Mereka tersenyum berdua.  Delia merasa tertangkap basah. Santi gadis supel yang sangat aktif sebagai pengurus remaja mesjid ini.  Frekuensinya bersama Andika memang lebih sering dibandingkan Dellia.

“Lia,  Andika udah lama loh,  suka kamu.  Gak tau ya? “

Santi memperbaiki duduknya agar lebih dekat dengan Dellia.

“Mhmm.. Tau dari mana? ” Dellia balik nanya.

“Tau aja.  Anak-anak juga pada tau kalau diam-diam dia suka memperhatikanmu,  menanyakanmu kalau kamu tidak ke mesjid. “

Santi menjelaskan panjang lebar.

“Kamu juga suka dia,  kan? “

Santi menatap kedua mata Dellia minta kepastian.  Sejenak mereka saling tatap dari dekat.  Sesaat kemudian Dellia memalingkan wajahnya dan kembali pandangannya tertuju ke atas pentas.  Santi mengikuti arah pandangnya.  Andika masih di sana membagikan piagam kepada para pemenang lomba.

“Sebenarnya aku sudah lama menyimpan rasa padanya.  Aku mencintainya,  Lia. “

Santi tiba-tiba berkata pelan nyaris tak terdengar. Hampir saja Dellia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.  Tapi Santi benar-benar mengatakan itu. Gantian Dellia yang menggeser duduknya dan kini berhadapan dengan Santi.

“Heii. Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan dengan rasa itu,  Santi? Diam saja? Menunggu dia menghampirimu? Dan mengatakannya padamu? Begitu?”

Tanpa terbendung tiba-tiba saja pertanyaan itu mengalir dan meluncur lancar begitu saja dari bibirnya seolah tak ingin ada yang terlewatkan. Terbayang Andika yang cool, ramah, simpatik dan selalu mencuri pandang padanya.   Andika adalah profil lelaki yang sangat diidolakan para gadis. Ternyata Santi salah satunya. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri? Dellia segera menepis rasa yangvtiba-tiba menyelinap nakal dalam hatinya.

Dellia kembali menatap Santi dan menunggu jawabannya.  Gadis itu terlihat diam dengan tatapan masih ke arah pentas.  Andika masih berdiri di sana dengan beberapa peserta lomba.

“Dia menyukaimu,  Lia. Aku tidak bisa berharap lebih.”

Suara itu terdengar serak. Santi tetap menatap ke arah pentas tanpa ekspresi.  Dellia merasa serba salah. Dia mulai menyadari bahwa dia secara tidak sengaja telah menjadi penghalang bagi Santi untuk mendapatkan perhatian Andika selama ini.

“Tidak,  Santi.  Kamu tak usah risau. Aku tidak akan mengambil Andika darimu.  Kau bisa dapatkan perhatiannya.  Kami hanya berteman biasa. “

Dellia mencoba meyakinkan Santi.

“Kamu harus bisa membuat dia menyukaimu.  Kamu lebih pantas mendampinginya. Bukan aku.”

Santi hanya tersenyum getir.  Dia tidak berkata sepatah pun menanggapi jawaban Dellia dan akhirnya dia bangkit meninggalkan Dellia.

“Santi,  tunggu! “

Dellia setengah berlari mengejar Santi menuju pintu keluar.  Pada saat yang sama Andika menyaksikan adegan itu dan berlari menghampiri.

“Dellia,  tunggu! “

Serentak langkah kaki Dellia dan Santi terhenti dan keduanya sama-sama berbalik mendengar teriakan Andika.  Sejenak keduanya terdiam dan saling pandang. Andika sudah sampai di dekat keduanya. Kedua gadis itu masih diam.

“Pulang? “

Andika bertanya sambil bergantian menatap keduanya.

“Ya.  Pulang.” Santi menjawab lugas membuat Dellia kembali berpaling ke arahnya.

“Aku duluan ya.” Santi meninggalkan Andika dan Dellia tanpa menunggu jawaban keduanya. Perih di hatinya mendorong dirinya untuk segera berlalu.   Andika dan Dellia tak kuasa nencegahnya.  Mereka hanya terdiam di tempatnya.

“Ada apa? ” Andika kembali bertanya pada Dellia melihat pemandangan yang terasa tidak biasa di depan matanya.  Dellia menghela nafas panjang seolah ingin melepas beban di pundaknya.

“lia? Ada apa,  sih dengan kalian? “

Andika memegang lengan Dellia ketika disadarinya gadis itu juga akan beranjak pergi meninggalkannya.

“Biarkan aku pulang,  Dika. “

“Tidak.  Sebelum kamu katakan apa yang terjadi barusan. “

Andika membalik badan Dellia sehingga berhadapan dengannya.  Kedua tangannya mencengkram kedua bahu gadis yang memang lebih pendek darinya itu.

“Santi mencintaimu,  Dik. Sebaiknya kamu kejar dia dan nyatakan bahwa kamu juga mencintainya. “

Akhirnya terucap juga kalimat itu dan Dellia merasa plong di rongga dadanya.

“Tapi aku tidak bisa,  Lia.  Aku…. “

“Jangan teruskan,  Dika. Aku sudah tau… ” Dellia menghentikan suara Andika.

“Aku yang tak bisa,  Dika.  kamu tau itu,  kan? Jadi sebaiknya jangan kecewakan Santi karena dia sangat mengharapkanmu.” Suara Dellia mulai serak. Dia tau bahwa Andika memang menaruh harapan pada dirinya.  Sikap Andika selama ini sudah cukup mewakili perasaannya dan Dellia merasakan itu semua.

“Lalu,  kamu sendiri? Akan sampai kapan menunggu Ikhsan yang sekarang entah di mana? Sampai kapan kau simpan cintamu untuknya? Sedangkan aku hanya mampu menyaksikanmu tiap saat dalam diam.  Aku mencintaimu,  Dellia. “

Akhirnya Andika tak kuasa menahan diri dan mengungkapkan isi hati yang selama ini dia pendam. Tanpa sadar kedua tangannya kembali mencengkram kedua bahu gadis di hadapannya.

Hati Dellia begitu gelisah. Dadanya bergetar menahan perasaan yang menyesak di hatinya.  Wajah Ikhsan dan Andika bergantian dalam pikirannya.   Tangisnya sudah mulai tumpah dan bulir-bulir bening itu mengambang jua di kelopak matanya. Sambil terisak dengan air mata yang berderai di kedua pipinya,  Dellia tengadah menatap kedua mata lelaki baik di hadapannya. Lelaki yang telah lama menjadi sahabatnya.  Lelaki yang akhir-akhir ini sudah membuat hatinya mulai bimbang. Tapi,  pengakuan Santi telah menyadarkannya kembali bahwa cintanya hanya untuk Ikhsan.  Bukan buat Andika.

“Dika,  aku mencintai Ikhsan dan akan menunggunya. Maafkan aku bila tidak bisa menerimamu. Aku tak bisa… ” Dellia benar-benar menangis.  Air matanya benar-benar tumpah malam ini.  Sudah lama dia tidak menangis seperti ini.  Semua sesak di dadanya seperti ikut tumpah. Andika luluh melihat itu dan spontan mengusap tangisnya dan merangkul gadis itu dalam pelukannya.  Sejenak dia menyadari itu berdosa.  Tapi,  rasa sayangnya pada Dellia menuntun nalurinya utk memberi perlindungan dan kekuatan kepada gadis yang diam-diam sangat dicintainya. Dellia menangis di dada Andika.  Lelaki itu memejamkan matanya turut merasakan kegetiran yang dialami gadis dalam pelukannya. Buru-buru dilepaskannya pelukan sesaatnya karena dia menyadari hal itu bukan perbuatan yang benar. Andika beristighfar memohon ampun pada yang kuasa.

“Aku tidak memaksamu,  Lia. Tunggulah Ikhsan bila memang kamu yakin.  Dan aku juga akan menunggumu karena aku juga punya keyakinan bahwa indah itu akan tiba pada waktunya. “

Kalimat itu hanya tercekat dalam tenggorokan Andika tapi itulah janji hatinya terhadap Dellia meskipun gadis itu tidak mendengar suara hatinya. Namun,  sepasang mata sangat terluka menyaksikan keduanya dari kejauhan dengan air mata berderai dan hati hancur berkeping-keping.


Komentar

Postingan Populer