TANYA




 

TANYA

(penulis Mas Sitti Sya)

 

Matahari tidak tampak ketika Bu Risma memasuki kelas. Tawa canda murid-murid kecilnya menghiasi hari pertama sekolah setelah bencana banjir memporakporandakan kampung. Hujan seminggu tanpa henti telah membawa petaka bagi kampung berpenduduk lebih kurang 40 keluarga itu. Beberapa penduduk hanyut dan tidak ditemukan jenazahnya hingga hari ini. Hujan bukan hanya menghadirkan berkah, tetapi juga musibah bagi beberapa penduduk di desa ini.

Bu Risma melayangkan pandangan ke semua murid. Mereka sudah rapi sekali. Tangan terlipat di atas meja yang sudah tak rata lagi. Semua murid menatap ke arahnya dengan sorot mata yang penuh semangat untuk memulai pelajaran. Bola mata bulat mereka berbinar-binar. Bu Risma begitu gembira menyaksikan wajah-wajah masa depan  dalam seragam  merah putih yang sudah pudar. Seragam itu sangat berarti bagi mereka. Dengan seragam, semangat persatuan dan kesatuan akan sangat terasa meskipun tidak semua siswa lengkap dengan sepatu dan kaus kakinya. Sebagian siswa masih ada yang bertelanjang kaki datang ke sekolah. Namun, hal ini tidak mengendorkan semangat mereka untuk cepat-cepat datang. Murid-murid itu merindukan suasana belajar dengan Bu Risma, satu-satunya guru bantu  yang mau dengan rela dan tulus hati mengajar mereka di kampung pinggiran ini, meskipun berbulan-bulan baru menerima gajinya yang tidak seberapa. Sungguh ironis, padahal di tangannya pemimpin bangsa ini akan dilahirkan. Bu Risma sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Perempuan 28 tahun itu sangat menikmati pekerjaannya. Mendidik dan mengajarkan anak-anak kampung pinggiran sungai agar ikut merasakan pendidikan. Paling tidak dapat membaca dan menulis.

Bencana banjir yang melanda kampung ini entah yang keberapa kali. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Banjir selalu datang  memporakporandakan perkampungan  yang tidak tersentuh  bantuan pemerintah ini. Menurut berita di televisi, bukannya pemerintah tidak memberi bantuan, tatapi lokasi perkampungan ini sulit dijangkau sehingga bantuan itu tidak sampai kepada penduduk kampung ini. Namun, bencana yang sering memakan korban jiwa ini tidak membuat jera penduduk untuk segera meninggalkan daerah ini dan pindah ke tempat lain.  Pada umumnya masyarakat kampung ini beranggapan bahwa banjir yang menimpa kampung mereka adalah hal yang biasa. Justru akan jadi luar biasa bila banjir tidak menjenguk mereka. Suatu hal yang sudah biasa ketika mereka harus berbenah membersihkan rumah dan pekarangan seusai banjir mereda. Hal yang biasa juga ketika tanpa sungkan dan tanpa rasa bersalah mereka membuang sampah ke sungai. Mereka tidak peduli bahwa suatu ketika sampah-sampah tersebut akan mengakibatkan banjir kembali. Mereka juga tidak menyadari bahwa sungai yang mereka kotori tersebut akan mereka gunakan untuk mandi, minum, dan keperluan hidup lainnya. Benar-benar suatu kebiasaan yang sudah menjadi kebiasaan dan dapat membinasakan.

Risma menghela nafas panjang. Kembali disapunya pandangan ke seluruh kelas. Masih tersisa tanah liat basah di lantai yang sudah tidak rata dan berlubang-lubang. Dinding-dinding kelas yang terbuat dari papan dan sudah lama sekali tak diganti catnya itu terlihat lebih indah karena bercak-bercak air dan tanah liat itu mengalahkan  lukisan abstrak pelukis Affandi. Ada yang menyerupai bentuk wajah menyeringai, ada menyerupai monster, ada juga  sketsa rumah yang poranda. Bahkan kalau ditilik lebih dalam, ada sketsa seorang ayah yang berlari menggendong anak balitanya yang agaknya sudah tidak bernyawa karena terseret arus sungai yang deras. Terbayang beberapa jiwa yang hingga kini entah di mana jasadnya. Beberapa korban jiwa tidak berhasil ditemukan, hanyut terbawa arus menuju laut. Risma memegang dadanya sejenak. Ada rasa miris ketika mengingat bencana yang rutin terjadi itu. Entah siapa yang harus disalahkan. Penduduk kampung lebih suka membuang sampah ke selokan atau ke sungai karena tidak ada tempat untuk membuang atau membakarnya.  Berkali-kali Bu Guru yang penyabar dan disayangi murid-muridnya ini menarik nafas panjang.

Perhatian Risma beralih pada bocah-bocah di hadapannya. Ibu Guru yang masih hidup sendiri itu tersenyum. Risma menatap murid-murid kecilnya satu demi satu. Semuanya berjumlah 28 orang. Kursi yang tersedia di kelas itu hanya berjumlah 21 buah yang masih bisa diduduki sehingga ada beberapa orang yang harus duduk berdua. Beberapa kursi teronggok di sudut kelas karena sudah patah. Sebenarnya Risma sudah membeli paku untuk memperbaiki kursi itu bersama anak-anak. Dia juga sudah meminjam martil kepada Pak Amat tetangganya. Kadang-kadang Risma suka  meminjamkan meja tulisnya untuk digunakan para siswanya. Bila hari tidak hujan dan cuaca bagus. Guru itu mengajak para muridnya belajar di alam terbuka, di bawah pohon atau di pinggir sungai. Semua murid sangat menikmati pembelajaran yang diberikan dan selalu menanti kehadiran ibu gurunya.

“Selamat pagi, anak-anak...”

Risma  menyapa para muridnya sambil tersenyum. Rona bahagia dan kerinduan terpancar di wajahnya.

“Selamat pagi, Buuuuu......”

Para murid membalas salam ibu gurunya  dan bersiap-siap untuk belajar. Sahutan panjang itu meluluhkan kerinduan Risma pada mereka. Dia menatap wajah-wajah penuh harap itu satu persatu. Anak-anak itu pun menatapnya. Ada kerinduan membuncah di matanya. Semua tampak serius menanti apa gerangan yang akan disampaikan gurunya pagi ini. Risma memberikan senyum terbaiknya pagi itu kepada anak-anak didiknya.

”Kita belajar apa hari ini, Bu...?

Seorang siswa membeTanyakan diri bertanya. Di tangannya sudah siap dengan pensil yang baru saja dirautnya. Berpasang-pasang mata menatapnya menunggu jawaban.

”Kita menulis puisi, anak-anak..”

”Horeeeee.” Anak-anak bersorak gembira dan mulai sibuk dengan alat tulisnya.

Risma meminta mereka menuliskan sebuah puisi bebas. Puisi tentang apa saja. Para siswa segera membuka bukunya dan mengambil alat-alat tulisnya. Sebagian ada yang baru dan sebagian besar masih menggunakan buku tulis yang sudah lembab dan agak kekuning-kuningan dan keriting. Banjir telah memusnahkan buku pelajaran dan alat-alat tulis mereka. Bahkan ada yang tidak lagi memakai seragam karena sudah tidak layak pakai lagi. Air bercapur lumpur telah menyisakan bercak-bercak yang tidak bisa hilang walau sudah dicuci dengan diterjen terbaik sekalipun. Anak-anak itu begitu bahagia. Meskipun  tidak berseragam dan tidak bersepatu, semua kelihatan sangat menikmati hari pertama sekolah setelah beberapa hari libur karena banjir.

Tiba-tiba Risma tertegun. Seorang siswa nyaris luput dari perhatiannya. Gadis kecil itu duduk mematung tanpa ekspresi di dekat jendela. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan keceriaan teman-temannya. Dia asyik dengan kesendiriannya. Gadis kecil itu bernama Tanya. Anak yang baru kehilangan orang tua satu-satunya karena hanyut terbawa arus pada saat banjir itu diam terpaku di kursinya. Sekarang gadis dia menunmpang tinggal bersama seorang nenek yang bersedia menampungnya. Pandangannya jauh ke luar jendela. Di sela-sela daun akasia ibunya menatapnya seolah-olah ingin menggapainya. Tanya membalas tatapan kasih ibunya. Gadis itu berlari menghampiri ibunya. Tanya sangat gembira. Erat  dipeluknya sang  ibu seolah tak mau dilepasnya.

 Ibu....” suaranya terdengar serak. Belaian tangan halus ibunya menyadarkannya bahwa sang ibu juga merindukannya. Tanya tenang dalam pelukan sang Bunda. Tangis rindunya tertumpah di sana.

” Ibu....jangan tinggalkan Tanya, Bu...Tanya takut sendirian...” gadis itu memeluk erat ibunya dengan isak  rindu yang penuh. Jangan tinggalkan Tanya, Bu..Jangan tinggalkan Tanya......jangan tinggalkan Tanya...”

Kalimat itu terdengar pelan nyaris serupa gumaman yang keluar dari bibir mungilnya. Di sudut-sudut matanya mengalir bulir-bulir bening. Tanya yang sedang terluka hatinya tidak menyadari kehadiran Bu Risma di sampingnya.

”Tanya, mana buku tulismu?Ayo tuliskan sebuah puisi. Tentang apa saja. Lihat, tuh! Teman-temanmu asyik menulis.”

Bu Risma membuyarkan lamunannya. Gadis itu membuka tasnya dan mengambil sebuah buku tulis yang agak lembab dan menguning karena air. Bu Risma masih berdiri di sampingnya sambil memperhatikan gadis malang itu. Ada rasa prihatin yang mengharu biru di sudut hatinya. Tanya mulai memikirkan sesuatu untuk ditulisnya. Bu Risma memperhatikan murid-muridnya dengan seksama. Mereka sangat serius. Sesekali terlihat mereka mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengerutkan keningnya tanda memikirkan sesuatu. Tanya belum juga menulis satu patah kata pun. Pandangannya kembali keluar jendela mencari-cari ibu yang tadi menunggu di sela-sela batang akasia itu. Tanya melongok-longokan kepalanya keluar jendela. Kepalanya celingak-celinguk sehingga Bu Risma menegurnya.

”Tanya, ada apa di luar? Mencari siapa? Puisinya sudah selesai?” tanya Bu Risma. Tanya kembali ke bukunya. Mengetuk-ngetuk pensilnya pelan. Dia bingung mau menulis tentang apa. Tidak ada yang bisa diceritakan dalam puisinya. Dilihatnya ke kiri dan kanan, teman-temannya masih asyik menulis. Tanya benar-benar merasa buntu. Tidak konsentrasi sama sekali dan tidak tahu harus menulis tentang apa.

            Tanya masih  mematung di kursinya.  Gadis itu diam seribu bahasa. Anak itu menatap Bu Risma tak berkedip.  Guru itu balas menatap matanya dan dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Gadis itu menopangkan dagunya dengan tangan kanannya. Pandangannya tetap keluar jendela. Bu Risma mengikuti arah pandangannya. Di sana terlihat seekor burung bertengger manis di dahan akasia yang sudah kehilangan daunnya. Sesekali burung itu mematuk-matukkan paruhnya ke dalam sarangnya. Tampak beberapa kepala mungil tersembul di balik jerami kering yang sudah disulap sang induk menjadi tempat peraduan yang nyaman bagi anak-anaknya. Sesaat kemudian sang induk terbang meninggalkan suara cericit anak-anaknya dan beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa  seseuatu diparuhnya. Kembali terdengar suara cericit yang menggemaskan. Anak-anak burung perincit itu berebutan santapan siang yang dibawa induknya. Pemandangan yang menakjubkan itu tak luput dari pengawasan cermat seorang gadis berusia sepuluh tahun, Tanya. Bu Risma yakin bahwa Tanya sangat merindukan kehangatan seorang ibu yang selalu memperhatikan dan mengasihinya. Banjir telah memisahkan dirinya dengan ibu yang sangat dikasihi. Banjir telah memporakporandakan impian yang sudah dibangunnya bersama sang ibu. Meskipun kehidupan mereka pas-pasan bukan berarti anak dan ibu itu tidak punya mimpi. Tanya ingin sekali terus bersekolah menamatkan SD agar bisa kursus menjahit di tempat pelatihan Bu Ani. Tanya ingin sekali bisa menjahit agar bisa membantu beban hidup ibunya demi memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Suatu hari gadis kecil itu pernah bercerita. Tapi sejak musibah itu, Tanya seperti kehilangan harapan. Tanya mengusap air mata yang mengambang di sudut matanya. Kerinduannya pada sang bunda sudah tidak tertahankan. Tetapi di manakah kerinduannya akan dialamatkan? Sang bunda tidak akan pernah kembali lagi. Mimpi masa depannya seolah terkubur dan hilang bersama hilangnya jasad bunda tercinta.

            ”Mhmm..” Bu Risma membuyarkan lamunan gadis itu.

            ”Tanya, sudah selesai puisimu?” Gadis kecil itu menatap Bu Risma sekilas dan dia mulai menggerakkan pensilnya.

            ”Ya. Bu.” Jawabnya pendek. Tidak bersemangat.

            ”Ya..Jangan lupa kumpulkan puisimu. Letakkan di atas meja Ibu, ya Nak..Ibu juga mau ke kantor.”

            ”Ya, Bu.Kembali gadis itu menjawab pelan sambil bangkit menuju meja Bu Risma. Tanya menyelipkan puisinya di tengah-tengah tumpukan puisi teman-temannya. Seperti biasa, Tanya kembali ke tempat duduknya tenggelam dalam kesendirian. Bu Risma meninggalkannya dan langsung ke kantor untuk beristirahat.

***

Liputan Terkini di sebuah stasiun televisi baru saja usai. Dua tabung gas meledak lagi. Entah karena sebab apa akhir-akhir ini sering kali tabung gas meledak. Entah karena kualitas tabungnya yang memang tidak bagus atau disebabkan kelalaian manusianya. Bu Risma mengambil remote control dan memencet tombol-tombol mencari acara yang menarik. Ternyata semua stasiun TV menyajikan berita politik dan kecamuk yang terjadi saat ini.

Bu Risma memasang kaca mata bacanya dan mulai membaca puisi-puisi karya siswanya. Satu demi satu puisi itu dibacanya. Dia tersenyum-senyum sendiri. Kagum dengan kemampuan siswa kelas 5 yang sudah pandai menulis puisi. Puisi-puisi mereka indah-indah sekali. Ada yang bercerita tentang bunga, gunung, ayam-ayamnya. Ada yang menulis tentang cita-cita. Ada yang menulis tentang keinginan memiliki boneka barby seperti yang dimiliki anak-anak seusianya di televisi. Namun, tiba-tiba Bu Risma tercekat tak mampu berkata-kata. Puisi di hadapannya hanya dua baris. Sangat singkat, tapi mampu membuat bulir bening di sudut mata ibu guru itu mengalir menyusuri pipi tirusnya. Bu Risma menangis hanya karena sebuah larik yang berjudul ”TANYA” dari seorang siswa bernama Tanya yang diam membatu ketika dimintanya menuliskan sebuah puisi dua hari yang lalu.

Puisi itu…oh puisi itu….Bu Risma menghapus air mata yang semakin deras mengalir dari sudut matanya. Hatinya benar-benar terharu dan sedih sekali mengingat anak didiknya yang satu itu.

”Tuhan, Mengapa tak Kau  bawa saja aku bersama ibu?

             kapankah Kau pertemukan aku dengan ibuku...”

Beberapa saat Bu Risma tidak bisa berkata-kata. Bayangan Tanya menari-nari di pelupuk matanya. Kemuraman dan kesedihan yang terpancar di matanya ternyata menyelimuti penderitaan yang sangat dalam dan mengiris batin siapapun yang memandangnya. Betapa dia butuh teman dalam kesendiriannya. Naluri keibuannya  tergelitik untuk mendekatinya, merangkulnya, dan mengajaknya untuk tinggal bersamanya, menjadi anaknya.  Bu Risma yakin sekali Tanya akan menerima kehadirannya. Dia akan berusaha mengurangi beban batin dan kesedihan yang dialami gadis kecil itu.

***

            Hujan tidak berhenti sejak kemarin sore. Orang-orang tidak terlihat keluar rumah.  Bu Risma teringat sekolah. Pastilah kebanjiran lagi. Air bercampur tanah liat dan lumpur paastilah telah menggenangi ruangan itu. Mudah-mudahan hujan cepat reda agar air tidak terlalu tinggi naiknya. Bila hujan tidak berhenti selama dua hari maka pasti akan terjadi banjir lagi padahal penduduk sudah bergotong royong membersihkan rumah dan selokan-selokan yang tersumbat. Tiba-tiba ibu guru itu teringat dengan Tanya. Ya! Bagaimana keadaan anak itu? Bukankah dia sendirian di rumahnya yang sempit itu? Neneknya pastilah pagi-pagi sudah berangkat ke pasar untuk berjualan sayur-mayur. Perempuan tua yang sudah dianggapnya nenek itu memang berjualan di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. pagi-pagi dia harus berebutan dengan para pedagang lain untuk mendapatkan sayur-sayur yang murah dari petani luar desa. Hujan deras begini apakah Tanya baik-baik saja? Bu Risma mulai kawatir memikirkannya. Arus sungai begitu deras melewati samping rumahnya. Gadis itu harus menyeberang jembatan kecil untuk sampai ke sekolah. Di bawah jembatan yang menghubungkan rumah dan sekolah sangat deras arus airnya. Apalagi sedang hujan seperti ini. Tanya. Tanya. Tanya. Wajah sedih gadis itu mengahantui pikiran Bu Risma. Ibu Guru berkaca mata itu mengambil  payung dan mencoba mendatangi rumah siswanya  tersebut.  Di tengah jalan dia berbapasan dengan beberapa orang yang terburu-terburu setengah berlari mendahuluinya. Bu Risma tidak tahu kemana arah tujuan mereka. Terlihat dari kejauhan banyak orang berkumpul. Risma mendekat kerumunan orang, menyeruak di antara rasa ingin tahu tentang apa sebenarnya yang telah terjadi.

Ternyata sudah jatuh satu korban lagi. Hanyut terbawa arus sungai.

Bu Risma mendengar seseorang berbisik kepada teman sebelahnya.

 “Sungguh kasihan. Jenazah ibunya belum ditemukan, kini dia pula yang menyusul.”                        

Jantung Bu Risma seakan berhenti berdetak. Reflek dia berjongkok dan menyingkap daun pisang yang menutupi jasad yang terbujur kaku itu.

“Tanya.....”suaranya serak dan tercekat di kerongkongan. Air mata tak sanggup dibendungnya lagi. Gadis itu telah menemukan jawab dari tanya dalam puisinya. Tuhan telah mengirim jawabnya.***                             

Komentar

Postingan Populer