PESAN TERAKHIR LALA (Pemenang I Lomba Cerita Anak Balai Bahasa Riau)


 

Pesan Terakhir Lala

(Penulis MAs Sitti Sya)

 

Cahaya matahari belum begitu panas. Udara pagi terasa sangat segar. Aroma mawar di halaman rumah harum mewangi. Angin sepoi-sepoi menyentuh daun-daun akasia. Beberapa ekor burung gereja mencicit-cicit. Lalu, hinggap di dahan yang rendah. Burung-burung kecil itu seakan menyambut kehadiran Lala. Gadis itu baru saja sampai di rumah Annisa. Dia diantar oleh supirnya. Hari ini Lala sengaja menjemput Annisa. Mereka akan pergi ke sekolah bersama-sama. Annisa dan ibunya sangat senang dengan kehadiran Lala di rumahnya. Bu Diah sudah menyiapkan sepiring ubi goreng untuk kedua sahabat itu.

“Diminum teh dan ubi gorengnya, ya anak-anak yang pintar,” katanya ramah. Dua gelas teh manis dan sepiring ubi goreng hangat dihidangkannya di atas meja.

“Terima kasih, Bu. Ubi gorengnya enak sekali.” Lala  langsung menikmati ubi goreng yang disuguhkan Bu Diah. Dia mengucapkan terima kasih kepada ibu sahabatnya itu.

“Mhmm, enaaaak.” Annisa tersenyum kepada ibunya. Dia mengacungkan jempol kanannya. Bu Diah tersenyum pada anak gadisnya itu. Lalu, dia melanjutkan jahitannya.

Annisa hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya sudah meninggal dunia. Untungnya, Bu Diah pandai menjahit. Bu Diah menerima upah menjahit dari tetangganya. Dengan upah jahit itu, Bu Diah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya bersama anak perempuannya itu. Bu Diah juga bisa membayar keperluan sekolah Annisa. Bila selesai belajar, Annisa senang membantu ibunya menjahit. Dia bisa memasang kancing baju.  Annisa menggunakan jarum jahit dan benang. Kadang-kadang Lala menemani Annisa mengantarkan jahitan yang sudah selesai. Lala senang sekali membantu Annisa.

Namun, mesin jahit Bu Diah sudah sangat tua. Mesin itu sering rusak sehingga jahitannya terlambat selesai. Annisa sangat ingin membeli mesin jahit bekas untuk ibunya, tetapi uang tabungannya belum cukup. Lala mengetahui keinginan sahabatnya itu. Tiba-tiba Lala mendekati Annisa.  Dia membisikkan sesuatu ke telinga Annisa. Annisa mendengarnya dengan serius. Sesaat kemudian, wajah kedua gadis kecil itu tersenyum bahagia. Mereka mengangkat kedua tangannya ke udara.

“TOOOOSSSS!!”

Telapak tangan mereka beradu di udara dan menimbulkan suara yang agak keras. Lala dan Annisa tertawa bahagia  sampai-sampai Bu Diah yang sedang menjahit terkejut.

“Hei, anak-anak yang cantik, sedang membicarakan apa, nih? Kelihatannya bahagia sekali?” Bu Diah bertanya sambil tersenyum.

“Mhmm…Ada aja..rahasiaaaaa, Buuuuu…” Lala dan Annisa sengaja menggoda wanita yang lembut itu. Mereka punya rencana besar dan berharap rencana ini berhasil. Lala dan Annisa berpelukan dan tertawa senang. Bu Diah mengeleng-gelengkan kepalanya. Dia tersenyum menyaksikan kedua sahabat itu. Lala berkata kepada Bu Diah.

“Doakan kami ya, Bu. Hari ini Lala dan Annisa akan mengikuti lomba bercerita.”

“Oh, begitu. Selamat belomba ya, anak-anak pintar. Semoga jadi juara,” jawab Bu Diah.

“Aamiin.” Lala dan Annisa menjawab bersamaan.

Bu Diah memeluk kedua anak yang bersahabat baik itu. Lala sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Gadis kecil itu sangat baik dan santun.

Lala dan Annisa adalah anak-anak yang taat beribadah dan berprestasi di sekolah. Pada hari Minggu, Lala selalu datang ke rumah Annisa setelah beribadah di gereja. Lala sangat tekun mengikuti sekolah minggu. Begitu juga dengan Annisa. Setiap hari Minggu, Annisa selalu mengikuti program didikan subuh  di masjid dekat rumahnya. Mereka akan bermain setelah kewajiban beribadah selesai.

“Ya, sudah. Lanjutkan sarapannya. Setelah itu segera berangkat ke sekolah.” 

Bu Diah mengingatkan kedua anak itu. Lala dan Annisa menghabiskan ubi goreng dan teh manisnya. Mereka masih tersenyum membayangkan sebuah rencana. Mereka akan membelikan mesin jahit bekas untuk Bu Diah bila  meraih juara dalam lomba bercerita nanti. Usul Lala ini disambut baik oleh Annisa. Annisa sangat terharu mendengar usul sahabatnya. Lala benar-benar sahabat yang baik. Semoga saja mereka juara nantinya sehingga bisa membelikan mesin jahit untuk ibu Annisa.

Matahari pagi bersinar sangat cerah. Hari sudah semakin siang. Lala dan Annisa harus segera berangkat ke sekolah. Rambut Lala yang hitam tergerai indah. Begitu juga dengan Annisa. Dia sangat cantik dengan jilbab putih yang menutupi rambutnya. Lala dan Annisa mencium tangan Bu Diah dengan santun. Annisa mengucapkan salam kepada ibunya.

“Assalamualaikum, Bu.”

“Selamat pagi, Bu,” sambung Lala.

“Waalaikumsalam. Selamat pagi. Hati-hati di jalan, ya. Selamat berlomba. Kalian harus semangat.” Bu Diah memberi semangat kepada Lala dan Annisa.

“Siap, Bu.” Jawab mereka hampir bersamaan. Lala dan Annisa pamit. Mereka tidak ingin terlambat ke sekolah.  Lala dan Annisa sangat bersemangat. Kedua gadis yang bersahabat baik ini tidak ingin mengecewakan Bu Rahma yang telah memilih mereka sebagai utusan sekolah. Mereka sangat tekun berlatih di sela-sela waktu istirahatnya. Lala dan Annisa akan berusaha tampil dengan baik pada saat lomba nanti. Mereka sangat berharap bisa menjadi juara. Uang hadiah lomba itu cukup untuk membeli mesin jahit bekas untuk ibu Annisa. Rencana Lala dan Annisa harus berhasil. Mereka akan berusaha dan berjuang untuk mendapatkan kemenangan.

Mobil yang mengantar Lala dan Annisa sudah sampai di sekolah.

“Terima kasih, Pak Iwan.” Lala dan Annisa menyalami Pak Iwan. Supir Lala tersebut tersenyum kepada kedua anak yang baik dan santun itu.

“Selamat berlomba dan berjuang, Lala dan Annisa. Semangat yaa!” Pak Iwan yang  mengepalkan tangannya tanda ikut memberi semangat kepada Lala dan Annisa.

Lala dan Annisa membalas dengan senyum. Mereka bergandengan tangan memasuki pagar sekolah. Keduanya terlihat sangat ceria dengan tas punggung yang serupa modelnya. Perbedaannya hanya pada warna. Tas punggung Annisa berwarna biru, sedangkan tas punggung Lala berwarna merah. Tas mereka itu adalah hadiah dari papa dan mama Lala ketika mereka berhasil menjadi juara kelas pada semester ganjil kemarin. Senyum tersungging di wajah Lala dan Annisa. Mereka terlihat seperti saudara kembar. Tiba-tiba Bu Rahma menyapa mereka.

 “Selamat pagi anak-anak yang pintar. Apa kabar pagi ini?” Bu Rahma menghampiri Lala dan Annisa. Kedua gadis kecil itu menyalami ibu gurunya dan mencium tangannya dengan santun.

Selamat pagi juga, Bu. Kami sangat bersemangat hari ini, Bu.” Jawaban mereka hampir bersamaan. Senyum optimis terpancar pada wajah keduanya. Ibu Rahma juga tersenyum. Ibu guru yang baik itu mulai mengumpulkan anak-anak yang akan berangkat ke gedung Balai Bahasa. Mobil sekolah akan mengantarkan mereka ke lokasi lomba itu. Semua terlihat bersemangat. Lala dan Annisa akan didampingi oleh Bu Rahma dan beberapa temannya sebagai pendukung. Mereka akan memberi semangat kepada Lala dan Annisa.

 “Doakan kami, teman-teman.” Lala mohon doa dari teman-temannya. Dia  memang sangat berharap memenangkan lomba ini dan mendapatkan hadiahnya. Mesin jahit buat ibu sahabatnya terbayang-bayang dalam pikirannya. Mereka telah berlatih dengan tekun selama dua minggu ini. Mereka dibimbing oleh Bu Rahma. Mereka sudah siap menghadapi lomba ini.

“Lala dan Annisa juaranya!” Teriak teman-temannya optimis. Mereka serentak mengepalkan tangan kanannya ke atas. Lala dan Annisa sangat berterima kasih atas dukungan teman-temannya. Mereka berjanji tidak akan mengecewakan teman-temannya.

Mobil yang membawa mereka sudah sampai di halaman parkir. Beberapa peserta sudah banyak yang hadir. Suasana begitu meriah. Pentas terbuka yang dihiasi dengan spanduk besar bertuliskan “LOMBA BERCERITA TINGKAT SEKOLAH DASAR SE-PEKANBARU” terpampang di hadapan mereka. Lala dan Annisa saling pandang. Mereka sangat bersemangat. Piala-piala tersusun rapi di sisi pentas. Lala dan Annisa sangat mendambakannya.

“Mari kita mendaftar ulang dan mengambil nomor peserta.” Ajak Bu Rahma kepada keduanya. Mereka menuju meja panitia. Anak-anak yang lain mencari posisi duduk di bawah tenda. Mereka menunggu di sana.

“Kami peserta nomor tiga, Bu.” Lala dan Annisa melapor kepada Bu Rahma setelah mengambil nomor urut peserta.

“Baiklah. Bersiap-siap, ya. Tenangkan diri dulu. Mari kita duduk di sana.” Bu Rahma mengajak Lala dan Annisa menghampiri anak-anak yang lainnya. Mereka menunggu giliran sambil menyaksikan penampilan peserta nomor satu dan nomor dua. Lala dan Annisa mulai berdebar-debar. Mereka menunggu giliran untuk tampil. Bu Rahma dan teman-teman pendukungnya memberi semangat. Mereka berdoa untuk kesuksesan Lala dan Annisa.

“Sekarang kami panggil peserta nomor tiga untuk tampil di atas pentas. Kepada peserta kami silakan.” Suara pembawa acara sudah memanggil.

Lala dan Annisa menyalami Bu Rahma. Mereka meminta restu ibu gurunya.  Kemudian dengan percaya diri kedua gadis itu melangkah menuju pentas. Mereka siap tampil dengan sungguh-sungguh. Teman-temannya bertepuk tangan memberi semangat.

“Nama saya, Lala Rahayu.”

“Saya, Annisa Humaira”

“Kami wakil dari SD Tuah Sakti Utama akan bercerita tentang Bebek dan Ikan Patin.”

Lala dan Annisa memulai ceritanya. Mereka sangat menguasai jalan cerita Bebek dan Ikan Patin. Annisa sangat lancar menyampaikan ceritanya. Dia benar-benar menguasai jalan cerita tentang persahabatan seekor bebek dengan seekor ikan patin itu dengan baik. Penampilan Annisa benar-benar bagus dan penuh penghayatan. Dia memang sudah sering berlatih bercerita di depan ibunya setiap malam sehabis mengaji. Begitu juga dengan Lala. Dia sangat pandai memerankan tokoh bebek dengan suara yang terdengar lucu. Gerakan tubuhnya mengikuti peran bebek dalam cerita itu. Dia berhasil membuat penonton tertawa. Annisa juga mampu berperan sebagai ikan patin yang bersedih karena kehabisan makanan. Mereka sangat ekspresif. Penonton bersorak. Lala dan Annisa tampil dengan sangat baik. Juri sangat terpukau dan bertepuk tangan. Lala dan Annisa berhasil menyelesaikan cerita itu. Tepuk tangan penonton terdengar bergemuruh. Bu Rahma dan teman-temannya bersorak kegirangan sambil berseru.

 “Lala juara. Annisa juara.”

Semua berseru berulang-ulang sambil bertepuk tangan. Annisa dan Lala mengucapkan terima kasih dan turun dari pentas. Bu Rahma dan teman-teman memeluk keduanya. Mereka sangat bangga dengan utusan dari sekolah mereka itu.

“Selamat ya, Nak. Kalian luar biasa hebat.” Puji Bu Rahma sambil memeluk keduanya. Teman-teman ikut bangga pada  Lala dan Annisa.

Lala dan Annisa sangat bahagia. Semoga saja usaha mereka tidak sia-sia dan mereka bisa membawa pulang piala dan hadiah uang tunai tersebut. Mesin jahit untuk ibu Annisa sudah membayang-bayang dalam angan keduanya.

“Mari kita ke kantin dulu membeli minuman dan kudapan,” ajak Bu Rahma kepada anak-anak. Mereka harus menunggu sampai juri mengumumkan pemenangnya.

“Semoga dapat juara, ya.” Bu Rahma memandang Lala dan Annisa. Ada senyuman bangga di wajahnya.

“Aamiin. Semoga, ya Bu.” Kedua gadis itu membalas senyuman bahagia Bu Rahma. Mereka menyantap kue-kue kecil dan minuman dingin yang tersaji di atas meja kantin. Semua tidak sabar menunggu pengumuman pemenang.

Suara pembawa acara terdengar hingga ke kantin. Pengumuman pemenang oleh dewan juri akan dilaksanakan sebentar lagi. Bu Rahma mengajak anak-anak kembali ke depan pentas. Mereka menunggu dengan harap-harap cemas.

“Semoga kita juara ya, Nis,” bisik Lala di telinga Annisa ketika mereka sudah duduk di barisan penonton. Mereka bersiap-siap mendengarkan pengumuman selanjutnya.

“Ya, Lala. Semoga kita menang dan mendapatkan hadiah itu,” balas Annisa.

“Aamiin. Semoga kita bisa membelikan mesin jahit buat ibu,” jawab Lala tersenyum. Annisa membalas senyum Lala dan mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

Bu Rahma sangat terharu mendengar percakapan kedua anak didiknya. Persahabatan anak-anak ini sangat tulus dan mereka saling mengasihi. Semoga usaha dan perjuangan mereka tidak sia-sia. Bu Rahma berbicara dalam hatinya.

“….dan sebagai juara pertama adalah…..peserta dengan nomor urut tiga yaitu Lala Rahayu dan Annisa Humaira.”

Suara pembawa acara terdengar sangat lantang membahana disambut tepuk tangan gemuruh. Teman-teman  Lala dan Annisa melompat-lompat dan berteriak kegirangan. Lala dan Annisa berdiri terpaku. Keduanya sangat bahagia sampai-sampai tidak bisa berkata-kata. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya berpelukan.

“Terima kasih ya, Allah,” bisik Annisa yang masih dalam pelukan Lala. Air mata bahagia mengalir di pipinya. Annisa menangis bahagia.

“Terima kasih, Tuhan.” Lala juga bergumam pelan. Dia juga menangis bahagia dalam pelukan Annisa. Bu Rahma memeluk keduanya. Matanya berkaca-kaca menahan haru. Allah telah mengabulkan doa mereka.

Lala dan Annisa maju menaiki pentas untuk menerima piala, piagam, dan hadiah uang tunai sebesar Rp 2000.000. Senyum bahagia terpancar di wajah kedua gadis yang bersahabat baik itu. Tepuk tangan penonton kembali terdengar ketika pimpinan Balai Bahasa Provinsi Riau menyerahkan piala, piagam, dan hadiah uang tunai kepada keduanya. Lala dan Annisa  mengangkat piala itu dengan senyum bahagia. Penonton berebutan mengabadikan momen itu. Hari ini benar-benar mengesankan bagi dua sahabat itu. Mereka adalah Sang Juara. Sekolah bangga dengan prestasinya.

“Selamat ya, anak-anak yang hebat. Kalian berdua telah membawa nama baik sekolah kita.” Bu Rahma menjabat tangan Lala dan Annisa sebelum mereka meninggalkan gedung Balai Bahasa untuk kembali ke sekolah.

“Lala pulang duluan ya, Bu. Pak Iwan sudah menjemput saya, Bu.”

Tiba-tiba Lala mohon pamit pada Bu Rahma. Dia tidak bisa pulang bersama-sama dengan mobil sekolah. Supirnya sudah menunggu.

“Baiklah, Lala. Hati-hati, ya.” Bu Rahma mengizinkan Lala pulang bersama supirnya.

“Aku duluan ya, Nisa. Besok kita ajak Bu Rahma membeli mesin jahit buat ibu, ya. Ibu bersedia?” Lala meminta persetujuan ibu gurunya. Bu Rahma mengangguk tanda setuju. Lala tersenyum. Dia menyalami dan mencium tangan gurunya. Lala pamit.

 “Dadaaa semuanya.” Lala melambaikan tangannya dan berlari menuju mobilnya yang parkir di seberang jalan. Tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang dan menabrak Lala dari belakang. Terdengar suara agak keras dan mengejutkan. Gadis kecil itu terpental dan membentur pagar tembok. Lala tergeletak tidak berdaya.

“Lalaaaa.” Annisa berteriak dan menghambur mendekati Lala. Semua orang mengerumuninya. Annisa memeluknya sambil menangis. Kepala Lala berdarah.

“Lalaaaa. Kamu harus bertahan. Kamu harus kuat. Kita akan ke rumah sakit. Toloooong.” Annisa berteriak meminta pertolongan. Lala menatap Annisa dengan wajah menahan sakit. Mulutnya bergerak-gerak ingin berbicara. Annisa menatapnya berurai air mata. Bu Rahma dan teman-temannya menangis pilu menyaksikan kejadian itu.

“Nis…Nissa. Ja…jangan lupaaa…be…likaaaan me…meeesiinnn jaaa…hiit unn…tuk Ibuuuu.” Lala berbicara terputus-putus. Lala melemah lalu terdiam tidak bergerak. Annisa menangis histeris. Pak Iwan langsung mengangkat tubuh Lala dan membawanya ke rumah sakit. Annisa, Bu Rahma, dan teman-temannya ikut mengantar Lala ke rumah sakit. Annisa menangis memeluk piala kemenangan mereka. Annisa merasa seakan memeluk Lala, sahabatnya. Dia berdoa semoga Lala baik-baik saja. Annisa ingin secepatnya Lala mendapatkan pertolongan dokter dan sembuh.

“Sabar, Nisa. Lala akan baik-baik saja.

”Bu Rahma menghibur Annisa. Dia merasa iba melihat kesedihan Annisa. Gadis itu tidak sanggup bersuara lagi. Annisa sangat sedih. Isak tangisnya masih terdengar. Dia hanya mengangguk pelan dan tidak berhenti berdoa.

“Ya allah. Selamatkan Lala sahabatku.” Annisa berdoa dalam hati. Air matanya tidak berhenti mengalir di kedua pipinya hingga mereka sampai di rumah sakit.

Lala langsung ditangani oleh dokter dan tim IGD (instalasi Gawat darurat) rumah sakit. Papa dan mama Lala tiba di Rumah Sakit. Mereka langsung memeluk Annisa dan menangis. Annisa menangis dalam pelukan mama Lala. Mama dan papa Lala sangat mengerti perasaan Annisa. Annisa adalah sahabat yang paling disayang anaknya. Walaupun mereka berbeda agama, tetapi mereka bersahabat baik. Keduanya saling menghargai. Pintu ruang IGD terbuka. Mama dan papa Lala segera menghampiri dokter.

“Bagaimana keadaan anak kami, Dokter?” Mama Lala menangis dan memandang cemas wajah dokter.

“Kami sudah berusaha, Bu. Maafkan kami. Anak Ibu tidak bisa kami tolong. Dia telah meninggal, Bu. Sekali lagi maafkan kami. Benturan di kepalanya mengakibatkan pendarahan di otak yang sangat parah.”

Dokter mencoba menenangkan mama Lala yang lunglai tidak berdaya mendengar kabar duka ini. Papa Lala merangkulnya dan menangis pilu. Annisa memeluk erat Bu Rahma yang terpaku mendengar suara dokter. Mereka berdua berpelukan dan menangis sedih. Suasana di ruang IGD penuh dengan suara tangis. Teman-teman yang dari tadi hanya berdiri terpaku juga menangis sedih. Sahabat mereka yang baik telah pergi untuk selama-lamanya. Annisa terduduk lemas tanpa suara. Hanya isak tangisnya yang terdengar. Gadis itu sangat berduka. Air mata terus mengalir di kedua pipinya.

“Lala. Mengapa secepat ini kamu tinggalkan aku?Bukankah besok kita akan sama-sama ke toko untuk membeli mesin jahit buat ibuku?”  Suara Annisa tercekat di kerongkongannya. Pesan terakhir Lala terngiang-ngiang di telinganya.

 “Nis…Nissa..ja…jangan lupaaa…be…liiiikaaaan me…meeesiinnn jaaa…hiit unn…tuk Ibuuuuu….” Air mata membasahi pipi Annisa. Gadis kecil itu benar-benar sangat kehilangan sahabat sejatinya.

“Lala, aku akan  memenuhi pesan terakhirmu. Terima kasih, Lala. Ibu  pasti senang menerima hadiah dari kita. Hadiah terbaik darimu. Selamat jalan, sahabat terbaikku.”

Annisa memeluk Bu Rahma dan masih tetap menangis ketika tandu yang membawa jenazah Lala dibawa ambulan menuju rumahnya.

Langit yang muram tiba-tiba menghadirkan rintik-rintik hujan. Airnya tercurah membasahi bumi seakan ikut berduka atas kepergian Lala untuk selama-lamanya.


Komentar

Postingan Populer