CERMIN: HINGGA SENJA MENGUNCI PINTANYA...


HINGGA SENJA MENGUNCI PINTANYA...

(penulis: Massittisya)

Aku masih di depan laptop, mengedit  naskah yang sudah lama terbengkalai diam ketika dia masuk ke dalam kelasku. Bel tanda jam pelajaran berakhir memang sudah lewat 20 menit yang lalu. Artinya, sekarang memang sudah waktunya dia membersihkan kelas seperti biasanya. Seperti hari-hari kemarin, senyum ramahnya selalu menghiasi wajahnya yang hitam manis. 

"Maaf, Bu. Tidak apa-apa saya sapu sekarang?"

Dia bertanya ramah, agak merundukkan kepalanya. Sopan seperti biasanya. Santun dalam setiap tuturnya. Mungkin dia ragu melaksanakan tugasnya karena melihat laptopku masih menyala dan musik masih terdengar lembut mendayu. Belum ada tanda-tanda aku akan beranjak pulang.

"Lanjut aja. Saya masih ada kerjaan dikit."Jawabku tersenyum memintanya meneruskan tugas dan tanggung jawabnya sebagai petugas kebersihan di sekolah ini. 

Hari-hari kemarin, aku tidak begitu peduli dengan keberadaannya hingga lantai kelas bersih dan meja kursi tersusun rapi sebelum kutinggalkan kelas. 

Sore ini, dalam diam aku memperhatikannya meskipun laptopku masih terbuka dan alunan instrumentalia masih terdengar lembut. Dia terus menyapu, menggeser meja, mengatur letak kursi, dan sesekali merapikan buku yang berantakan di meja. Pelan dan diam seperti biasanya. Dia sama sekali tidak menyadari kalau sejak tadi aku mengamatinya, juga dalam diam. Ada gurat resah di matanya yang sesekali mencuri pandang ke arahku. Mungkin dia mulai menyadari kalau aku sedang memperhatikannya. Aku menghela nafas berat, mencoba menetralisasi sebuah rasa empati yang tiba-tiba menguasai diriku sejak siang tadi. 

"Mas, yang sabar, Ya." kataku pelan hampir tidak terdengar. Suaraku tercekat di kerongkongan. Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Sesaat dia menghentikan pekerjaannya dan menatapku tanpa kata. Sapu itu masih di tangannya.

"Bu..." Suaranya juga terdengar pelan. Mata itu letih dan resah. Ada luka yang ingin dia ceritakan. Aku memberinya senyum yang mungkin terlihat tidak biasa.

"Ya. Saya sudah mendengar berita itu, Mas. Yang sabar, Ya. In syaa Allah akan ada jalan keluarnya. " 

Aku mencoba memberi kekuatan pada dirinya dan berusaha membendung rasa haru yang tiba-tiba mrnyesak perih membayangkan rasa yang ada di hatinya menerima cobaan seberat ini. Bulir bening menggenang di kelopak mataku yang mulai menghangat, tapi aku tak ingin menangis di hadapannya. Terbayang bayi mungil terbaring lemah dengan vonis dokter menderita bocor jantung dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menjalani operasi. Itu pun masih harus antre entah seberapa panjang dan lamanya. Mungkin sebulan, enam bulan, bahkan mungkin setahun. Tidak juga di sini, tetapi di RS Harapan Kita. Keresahan itu semakin menendang-nendang dinding batinnya.

Matahari sudah semakin condong. Ku-shut down laptop dan bersiap-siap pulang.  Dia masih di sana dengan sapu di tangannya, menuntaskan sisa hari dalam sepenggal doa tulus pada-Nya demi kesembuhan ananda tercinta hingga senja mengunci pintanya.

Komentar

Postingan Populer